Masih dari TreeTop, pagi ini dimulai dengan merapikan
carrier 60L yang tersohor itu. Meskipun sebagian barang yang tidak dibutuhkan
sudah dikeluarkan, namun ransel hijau tua yang jauh dari kata anggun tersebut
tetap terasa (dan terlihat) padat. Sementara ada teman yang bahkan hanya
membawa jinjingan kecil…. lucu juga kalau mengingat muka-muka melongo saat
menyadari betapa besarnya ransel gue :D
Begitu siap untuk menuju pelabuhan – meski tanpa mandi – dengan
percaya diri gue melangkah keluar dari TreeTop. Dua orang bule ABG yang lagi
nongkrong di teras menatap ke arah saya. Duh, nyaris ge-er! Tapi akhirnya gue
sadar….mereka silih berganti memandang antara ukuran carrier dan tinggi badan
pemiliknya, kemudian saling senyum liat-liatan satu sama lain. Deeem, mereka
pasti lagi ngetawain gue, nih!
Tas Carrier Eiger 60L |
Group kami berlayar menggunakan 2 kapal, syukurlah cuaca
hari ini begitu bersahabat. Kapal seakan berlayar di atas agar-agar….begitu
tenang tanpa ombak. Di kanan dan di kiri, berjejer pulau-pulau kemarau yang
seolah membentengi pelayaran ini. Pulau pertama yang kami kunjungi adalah Pulau
Kelor. Pulau yang bisa ditempuh dalam waktu 30 menit ini tidak berpenghuni.
Sepertinya memang tidak populer sebagai area bermain air. Tapi tunggu dulu, lihat
foto-foto di bawah ini...
Dari Puncak Pulau Kelor |
Puas berpanas-panasan di Pulau Kelor, kami kembali berlayar dan
menuju Pulau Rinca. Pelayaran diisi dengan makan siang lalu menjadi model dan
fotographer dadakan di geladak kapal. Sandal kuning dan sandal pink menjadi
sorotan.
Di gerbang masuk Rinca yang dinamai Loh Buaya, kita
disambut oleh Ranger yang bertugas mengawal perjalanan. DEG DEG DEGan…. akhirnya
melihat bisa melihat sang naga secara live! Kalian pasti sudah sering dengar betapa ganasnya binatang peninggalan purbakala ini, kan? Katanya: komodo
bisa berlari secepat kilat, bisa berenang, bisa mencium bau darah hingga kiloan
meter, bisa memanjat pohon dan dipersenjatai dengan air liur yang penuh bakteri
berbahaya. Wah, kurang HOROR apa lagi, coba? Belum lagi berbagai kisah
penyerangan komodo, bahkan terhadap ranger sendiri. Di Rinca, dikabarkan bahwa
ukuran komodo relatif lebih kecil dibandingkan rekan-rekannya yang berada di
pulau komodo. Artinya, besar kemungkinan komodo disini dapat bergerak jauh
lebih lincah. Hmmm…
Sebelum memulai trekking, kita diminta untuk memilih
jenis trek sesuai kemampuan dan keinginan. Jenis trek terbagi menjadi 3 macam:
(1) trek ringan selama 1 jam, (2) trek sedang sekitar 1,5jam, (3) trek berat
selama 2jam. Saat itu kami sepakat memilih trek yang ringan saja. Para ranger
sudah mewanti-wanti agar kami tidak “sok tau” dan keluar dari rombongan.
Pokoknya harus tetap waspada, jika ada komodo melintas biarkan dia lewat
terlebih dahulu. Sebisa mungkin jangan menenteng tas, atau membiarkan
tali-temali tas beruntai-untai. Kalau tidak, bisa-bisa komodo akan menyangka
kita membawa makanan untuk mereka, begitu kata si Ranger. Ranger juga dilengkapi dengan “senjata”
berupa tongkat kayu yang bercabang di ujungnya. Sekilas sih, “senjata” ini
terlihat lemah. Biaya masuk sebesar Rp2,500,- bagi wisatawan local, dan Rp20,000,-
untuk wisman.
Dari atas bukit di Rinca |
Kanan: anak komodo di dalam lubang di atas pohon |
Sang Ranger menunjukkan lokasi favorit para Komodo.
Terdapat seekor komodo yang terlihat malas, gemuk dan seolah tak peduli dengan
kami. Tapi jangan terkecoh, meski tidak dalam posisi aba-aba, jika ia merasa
terganggu, akselerasi penyerangan bisa terjadi secepat kilat. Kemudian kami
beralih ke tempat lain, si Ranger menunjukkan seekor anak komodo yang sedang
bertengger di pohon. Wah, mendadak gue menghayal: apa jadinya kalo dia loncat
ke atas kepala? Jalan setapak kami susuri lagi…terlihat seekor rusa melintas.
Terus melangkah, kami sampai pada diatas suatu bukit yang wow….cantik sekali.
Dari atas bukit terlihat ceruk lautan yang nyaris seperti lukisan. Tentu saja,
kamera harus disiapkan!
Selesai dari Rinca, kami langsung menuju P. Komodo. Bukan
untuk trekking, melainkan snorkeling…mungkin lebih dari 1 jam kami berlayar. P.
Komodo terletak di sisi terjauh dari rangkaian Kep. Komodo. Jika dari Labuan Bajo kalian langsung
menuju kesini, siapkan waktu sekitar 4 jam, ya.
Dari kejauhan terlihat beberapa kapal sedang dilabuhkan agak jauh dari tepi pantai. Dan ABK lalu mengumumkan bahwa kami sudah sampai ke sebuah surga taman laut. Pemirsa….selamat datang di PINK BEACH!
Dari kejauhan terlihat beberapa kapal sedang dilabuhkan agak jauh dari tepi pantai. Dan ABK lalu mengumumkan bahwa kami sudah sampai ke sebuah surga taman laut. Pemirsa….selamat datang di PINK BEACH!
Narsis teruus |
Kapal besar memang tidak diperbolehkan untuk menepi ke
pantai, dikhawatirkan bisa merusak karang-karang laut yang tersebar di
sepanjang pantai. Untuk mendapati pink beach, kita wajib terjun di tengah laut
dan berenang ke tepian. Sebagian teman yang sudah turun duluan memperingatkan:
“hati-hati, arus bawah lautnya deraaas sekali!” Tapi gak ngaruh, gue harus
turun! Jadi, memang disini terkenal dengan arus bawah yang lumayan kencang.
Atau bisa jadi di jam-jam tertentu saja ya.. karena saat itu memang sudah jam 4
sore. ABK sempat berpesan: “kalau kalian terbawa arus, NIKMATIN aja!”
Belakangan ketahuan kalau Chedy yang berbadan layaknya body builder pun, harus berjuang
keras untuk melawan arus saat kembali ke kapal. Ia pun sempat menggigil sedemikian
rupa karena terkena air dengan suhu yang cukup rendah.
Pemandangan bawah laut disini memang dasyat, deh!
Coral-coral dengan berbagai warna, anemon yang menari-nari, berbagai jenis ikan
termasuk Nemo – favorit gue – berenang kian kemari. Tapi sayang, beberapa
bagian memang tampak sudah hancur. Terfokus menuju ke pantai, gue melupakan
esensi snorkeling itu sendiri, untuk melihat kian kemari. Sungguh amat disesali,
rasanya kurang lincah “berburu” spot yang cantik. Dua doa: (1) Mudah-mudahan
suatu hari bisa kembali kesini lagi, (2) Mudah-mudahan coralnya tidak tambah
rusak! Begitu mendarat di pantai pink – yang tidak terlihat pink – teman-teman pun sibuk
bergaya di depan kamera. Jangan khawatir, katanya….katanya lho, komodo tidak
bermain-main di wilayah ini. Seperti tadi gue bilang, pink beach terletak di
sisi pulau Komodo, namun tidak ada seorang Ranger pun yang akan mengawal kalian
disini.
Saat senja tiba, kami menepi ke Kampung Komodo yang
letaknya dekaaat sekali dari pink beach. Kapal pun ditambatkan di dermaga. Sempet terpikirkan oleh teman-teman
untuk membajak kapal dan kembali ke pink beach esok hari *balada tidak puas*
hehehe. Kampung Komodo (dan juga Pulau Kambing) memang cukup lazim menjadi
lokasi peristirahatan kapal wisata, sebab perairannya yang hampir selalu
tenang. Di kapal, kami bergantian mandi. Ingat, hemat air ya! Satu orang hanya
dapat jatah 1 ember air bersih saja. Tapi rupanya peraturan hemat air tidak
berlaku di kapal teman kami (kapal yang lebih besar). Di kapal itu air pancuran
mengalir dengan kencang, nyaris dipastikan bahwa mereka menggunakan air laut
dan bukan air bersih yang dibawa dari Bajo. Malam hari, Bram, David, Emil dan
gue menyempatkan diri menjelajah ke Kampung Komodo yang kondisi penduduknya
cukup menyedihkan.
Wajah anak-anak di Kampung Komodo |
Suasana Kampung Komodo |
Sedikit cerita mengenai kapal yang kami tumpangi, kapal
yang berukuran sedang (sedang itu relatif, ya) ini mampu menampung sekitar 7-8
orang. Fasilitasnya berupa: 3 ABK, 1 toilet, dapur, dek atas untuk bermalam, kabin
bawah yang bisa menampung 2 orang, dan “ruang keluarga” multi fungsi. ABK
sendiri yang menyediakan makan pagi-siang-malam untuk kami. Eits, jangan
berburuk sangka dulu ya…masakan mereka endaaaang, lho!
Things we do on da boat |
Hari yang dipenuhi momen LUAR BIASA ini ditutup oleh
taburan bintang-bintang yang begituuuuu….begituuuuu…..*speechless*
NB: Foto-foto diatas adalah koleksi dari rekan-rekan seperjalanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar