Tanjung Bira, Toraja, Makasar (P. Samalona & P. Kodingareng Keke)
Entah
ada bisikan ghoib dari mana, kok rasa-rasanya gw pengen nulis tentang trip gw
kali ini. Sungguh ini se-su-a-tu. Ini bakalan jadi catatan perjalanan (catper) gw
yang kedua. Catper yang pertama ditulis dibawah todongan pisau temen gw, alias dipaksa. Peringatan ya….tulisan ini puanjaaang sekali, sebaiknya dibaca sambil bobo-bobo cantik.
Jadi, ada dedemit trip yang hobi
nyetanin temen-temen rempongnya untuk bikin trip bareng. Tujuan kali ini ke
Tanjung Bira, Sulawesi Selatan. Gw cukup
yakin alasan trip kesana semata-mata karena ada tiket pesawat promo jenis LCC.
Cukup senang juga sih karena ini bakalan jadi perjalanan pertama gw ke tanah
Sulawesi. Yippiiee!!!
Gw
pergi bareng dengan gerombolan yang punya hobi jalan-jalan. Mulai dari yang
jalan murah hingga yang murah banget. Gerombolan kita udah lumayan sering jalan
bareng, mulai dari Phuket, Pulau Seribu, air terjun Cilember ampek wisata
kuliner. Belum lagi perjalanan mereka tanpa gw, gak terhitung banyaknya (kok gw
ditinggal siiiiiih????). Dalam
tempo yang cukup singkat, si dedemit trip ini berhasil mengajak 10 orang untuk
budget sharing selama perjalanan di sana nanti. Mayan juga bro, perkiraan cost
bisa ditekan seminim mungkin. Tim kali ini terdiri dari:
1. Jombil
= si dedemit dan juga pemilik kamera canggih. Bertanggung jawab untuk membuat
itinerary. Lebih baik gak usah deket-deket dia, kecuali tahan dinyinyirin.
2.
Onad
= bertindak sebagai seksi operation Rempong. Pernah diet, lalu menyesal jadi
kurus sehingga dia buncit kembali.
3.
Agnes
/ Cipit = bendahara yang berprofesi sebagai ikan duyung.
4.
Dwi/Tuik
= model berkerudung yang super narsis.
5.
Gw
sendiri = model yang gak terlalu narsis.
6.
Ichyin
= anak labil yang umurnya udah dewasa.
7. Kobo
= photographer andalan segala bangsa. Bukan karena kepintarannya menjepret,
tapi karena Galaxy Mega-nya yang masih gress dan casing kamera anti airnya.
8. Phina
= pacarnya Kobo. Keberadaan dia cuman ngerecokin orang-orang doang. Pokoknya
dia gak penting.
9.
Budi
= temennya Tuik. Mukanya mirip Oni (siapa Oni? Orangnya gak penting, jadi gak
penting juga untuk dijelasin. Xixixi.)
10.
Dita
= temennya Budi. Dimana-mana selalu jalan bareng Budi. Ehem.
|
Kesepuluh Personil |
31
Oktober 2013: Jakarta – Makasar – Tanjung Bira
Hari keberangkatan pun tiba. Tanggal
31 Oktober pagi buta kami bersembilan berkumpul di bandara, mengejar pesawat
yang akan take-off jam 6.25. Budi menyusul ke Makasar dari working sitenya di
Balikpapan. Karena masih banyak waktu sebelum boarding, kami putuskan untuk sarapan
di CK. Gw makan pop mie dan arem-arem yang dibawa oleh Agnes. Gpp kan gw makan
pop mie? Gw kan jarang makan indomie, suwer deh! Hampir sepanjang 2 jam
perjalanan di pesawat, kami (tepatnya gw) tidur dengan awet. Pada jam 10 pagi
waktu setempat kami pun sampai di Makasar. Oh iya, Makasar itu 1 jam lebih awal
dari waktu Jakarta, lho. Gara-gara Budi gak berangkat bareng dari Jakarta,
akhirnya kamipun harus menunggu dia yang baru akan sampai jam 11.30 siang
(nyusahin aja lu, Bud).
Sembari menunggu Budi, kami pun
menjelajahi bandara untuk melihat apa yang kira-kira apa yang bisa disantap
disana. Sebagian besar teman memilih nongkrong di KFC, sementara gw, Kobo dan
Phina memilih makan coto makasar. Seporsi coto dihargai 21rb. Not bad yah. Tapi
setelah coto nya disajikan, ternyata harga tersebut belum termasuk nasi. OK
lah, kita pesen nasi. Eeeeeh, ternyata coto nya kaga ada enak-enaknya. Huhh,
ini semua gara-gara Budi (gak nyambung sih).
Setelah Budi sampai, jam 12an kami
lantas berangkat dengan mengendarai Elf sewaan untuk mengantar ke Tanjung Bira.
Sepanjang perjalanan, si Phina selalu pasang mata untuk mencari GRAPARI. Helloooo,….Axis
gak dapat sinyal yah? Hari gini kok masih pake Axis? Wkwkwkwk. Kontan dia pun
nyalah-nyalahin si Tuik yang bekerja di Axis.
Butuh 6 jam untuk mencapai Tanjung
Bira dari Makasar. Gw yakin 2/3 dari total perjalanan gw habiskan dengan
tidur-tidur ayam dan tidur pulas. Sekitar jam 6 sore kami pun sampai di TKP. Untuk
dapat masuk ke dalam “kompleks” penginapan disana, kami wajib membayar biaya
restribusi sebesar Rp10,000 per kepala. Kami menginap di sebuah home stay yang
nyaman dengan harga yang masih terjangkau. Penginapan “Pasir Putih” yang
dikelola oleh pak Andi Arham ini terdiri dari beberapa kamar. Menurut gw, kamar
yang paling menarik yang terletak di bagian depan, berupa rumah panggung. Kamarnya
sangat luas, dengan pendingin ruangan serta kamar mandi di dalam. Fasilitas itu
didapat dengan bayaran Rp250,000 per malam, per kamar bisa dihuni untuk 3
orang. Sejujurnya dengan luas kamar seperti itu, 6 orang pun muat masuk ke
dalamnya. Dari 10 orang tersebut kami sepakat untuk membagi jadi 3 kamar, para
cewek di bagi jadi 2 kamar, dan para cowok umpel-umpelan dalam 1 kamar saja
(emang enak?). Entah ketiban sial apa, gw sekamar dengan Tuik dan Phina. Pembagian
yang sungguh tidak adil ini didasari oleh: kesamaan ukuran tubuh kita bertiga
yang setinggi anak SD jaman sekarang. Oh ow, 2 hari sekamar dengan mereka,
horror pun dimulai.
Malam pertama kami lalui dengan
santai-santai, meskipun senang karena ternyata kamar yang kami pesan cukup
bersih, tapi tentu kami memilih untuk keliling melihat-lihat keadaan alam di
sekitar kompleks. Ternyata penginapan kami gak jauh dari spot pantai yang
sering muncul kalo kalian google keyword “tanjung bira”. Yaeyalaaah, wong
daerahnya disitu-situ juga. Xixixixi.
Usai melihat-lihat ditengah gelap,
kami pun mencari makanan untuk mengisi kekosongan hati, eh maksut gw untuk
mengisi perut. (Diiiiiiiiih, ada yang curcol!!). Awalnya agak bingung juga mau
cari makan dimana, secara sepanjang jalan udah kayak kota mati ajah!
Warung-warung tutup, kedai nasi apalagi. Bahkan pemilik penginapan kami pun
tidak bisa menyediakan makanan untuk malam itu. Lagi ada acara, gitu alasannya.
Satu-satunya tempat yang buka dan nampak ada kehidupan, sudah ramai diisi oleh
bule, gak ada space kosong untuk kami yang bersepuluh ini. Gw sih gak terlalu
laper, tapi demi nemenin temen-temen yang sedang kelaparan, gw bela-balain deh
ikut makan. Percaya kan?
Singkat cerita akhirnya ketemu juga
tuh kedai nasi. Beberapa teman memesan nasi dan ada juga yang memesan indomie
rebus. Gw sendiri akhirnya memesan indomie goreng + telor ceplok yang seporsi
dihargai Rp8000. Si Tuik yang memesan indomie rebus terheran-heran, dia dapat
mie rebus dan telor rebus bulat utuh. Hihihihi. Penyajiannya agak ajaib buat
selera dia. Disaat gw menikmati pesanan indomie goreng, tiba-tiba datang lagi
indomie goreng + telor ceplok yang tak bertuan. Gak ada yang ngaku kalo memesan
mie goreng. Jadi yaudahlah daripada mubazir, gw embat juga itu indomie. Walhasil
gw dah ngabisin 2 porsi malam itu. Gpp kan yah gw makan indomie? Gw kan jarang
makan indomie. Duuh, merasa bersalah deh, padahal gw lagi gak laper, lho!
Xixixixi.
Selesai makan kami semua menghampiri
pemilik penyewaan kapal untuk menyebrang ke pulau Liukang dan pulau Kambing.
Identitas pemilik kapal itu kami dapatkan berdasarkan rekomendasi dari Pak
Andi. Usut punya usut, kedua pulau tersebut letaknya tidak jauh dengan dari pantai
Tanjung Bira. Menurut pemilik kapal, hanya butuh 7 menit untuk menyebrang ke
pulau Liukang dan 15 menit untuk ke pulau Kambing. Setelah bernego cukup alot,
akhirnya pemilik kapal berhasil meyakinkan kami kalau Rp650,000 sudah cukup
murah untuk penyewaan kapal dari jam 8 pagi s/d 3 sore. Artinya, kami hanya
diberi diskon Rp50,000 dari penawaran awal. Menurutnya, kapal tersebut cukup besar
untuk menampung kami bersepuluh. Harga segitu sudah termasuk life vest. Bagi
yang tidak membawa peralatan snorkeling (mask dan snorkel) bisa menyewa seharga
Rp20,000 saja. Sebenarnya gw request untuk liat fisik kapalnya dulu sih, tapi
kata si bapak itu, kapalnya gak bisa diliat karena lagi di tengah laut. Yaudah
deh.
1
November 2013 – Tanjung Bira
Esok telah tiba, pagi ini kami semua
sarapan nasi goreng telor dadar, lumayan lah untuk bekal energy snorkeling
sebentar lagi. Sembari menunggu pesanan datang, gw sempet jalan-jalan sekitar
penginapan. Wah, uang restribusi yang kami bayarkan di pintu gerbang tadi malam
gak sia-sia, lho. Jalanan bersih dan nampak tukang sapu yang siap sedia
membersihkan jalanan. Hanya saja banyak “ranjau” bertebaran yang terlewat untuk
dibersihkan. Ranjau-ranjau itu berupa kotoran kambing. Ya, kambing adalah salah
satu binatang yang amat lumrah ditemukan di daerah ini. Menurut gw sih udah
semacam melihat kucing di perumahan ajah.
|
Suasana desa penginapan di Bira |
Matahari bersinar dengan amat terik.
Alhamdulillah karena kami bakalan berlayar dengan cuaca yang cerah banget nget
nget ini. Setelah menjemput life vest, kami langsung menuju ke pantai.
Woooooooww, pasirnya putih banjeeeets. Birunya pun surprisingly keceeh, bro! Maklum,
tadi malem kan putihnya pantai gak keliatan. Trus trus, kedua pulau yang akan
kami datangi ternyata emang beneran deket ket ket dari pantai Bira. Saking
dekatnya, bahkan semut diujung sana pun dapat terlihat dengan jelas. OK gw agak
lebay sih.
|
Pantai Bira |
Ombil dan Onad yang udah sampai duluan
di pantai memanggil kami untuk berkumpul. Ternyata kapal yang semalam kami sewa
ukurannya mini banget. Kapal fiber, cantik dan mungil sih, tapi agak bikin
was-was juga kalo harus ditumpangi oleh 10 orang. Belum lagi beban barang-barang
bawaan kami. Untuk alasan keselamatan, si Jombil nego ulang ke si Bapak pemilik
kapal. Kami memesan 2 kapal, tapi tentunya dengan meminta harga yang lebih
murah. Dengan cepat si Bapak memberikan harga Rp. 500,000 per kapal. Hohoho,
lesson to learn bagi yang mau kesana: lain kali tawar aja gopek yak untuk 1
kapal. Xixixixi. Oh ya, kapal kedua yang kami pesan itu berupa kapal kayu, gak
sekeren dari yang pertama tadi. Tapi ukurannya jauh lebih besar.
Kami semua langsung ke pulau Kambing. Kami
benar-benar menikmati perjalanan itu…laut yang jernih dan udara yang cerah. Kita dapat bocoran bahwa disebut pulau Kambing gara-gara ditemukan banyak kambing
disana. Tapi sesampainya disana, yang gw liat cuman karang :D tidak tampak
batang hidung si kambing.
|
Pulau Kambing |
|
P. Kambing yang mengingatkan gw akan salah satu pulau di Phuket. |
Turun ke laut, sejujurnya agak kecewa
sih dengan pemandangan under water di spot itu. Airnya memang cukup jernih,
tapi coralnya putih, gak jauh beda deh dengan keadaan coral di kepulauan seribu.
Meskipun yaaah, sedikit lebih baik lah kondisi disini. Sisi pulau kambing yang
kami datangi ini berupa tebing karang yang cukup menarik. Memang bukan tebing
yang tinggi buanget sih, palingan sekitar 5-7 meteran lah. Jadi sepanjang
penglihatan gw gak ada pantai berpasir landai. Gak tau juga deh bagaimana
keadaan sisi yang lainnya lagi. Merasa bosan, satu persatu mulai naik kapal. Si
Agnes dan Jombil yang masih berpetualang di bawah air bertanya-tanya: “kok
udahan, waktu kita kan masih lama?!” Namun rupanya entah mereka menyerah entah
mereka pun bosan, akhirnya mereka naik juga ke kapal. Perjalanan kami lanjutkan
ke Pulau Liukang.
|
UW di Pulau Liukang |
|
Bermain-main di Pulau Liukang |
|
Gak penting :D |
Pulau Liukang tuh yang tadi itu lho,
yang gw bilang bisa liat semut dari pantai Bira saking deketnya. Mendekati pulau
itu, kami semua sempat turun kembali untuk menyaksikan keindahan bawah lautnya.
Hampir serupa dengan Pulau Kambing, hanya saja sedikit lebih baik. Tak lama
kamipun kembali ke kapal karena arus mulai kencang. Tak sampai 2 menit kami sudah
menjejaki bibir pantai pulau Liukang. Tujuan kami disini adalah untuk makan
siang. Dua rekan kami, Jombil dan Budi, (para pemuda yang tidak terlalu muda)
juga bisa turut melaksanakan solat Jumat di pulau ini. Begitu sampai di pulau
kami langsung sigap memilih bangunan yang penampakannya berupa restoran. Menu
kali ini dipilih ikan bakar, ikan goreng,
dan telur dadar. Beberapa dari kami memilih menu tambahan yaitu indomie. Ehem…dan
gw termasuk di dalamnya. Gpp kan yah? Mumpung liburan gw makan indomie. Jarang
lho, gw makan indomie. Xixixi lama-lama gw digamparin nih. Dari awal si Jombil
sudah curiga kalau pesanan kami bakalan dihargain mahal. Kenapa? Soalnya mereka
gak mau kasi tau harganya dulu. Ngakunya “belum tau” mau dihargain berapa.
Walhasil, setelah meminta bon, harga ikan, telur dadar dan nasi dihargai
Rp420,000. Itu belum termasuk pesanan tambahan tadi.
Sisa hari kami habiskan dengan
leyeh-leyeh dan tentunya poto-poto (dengan gaya gak penting) di bawah terik
matahari. Sebagian ada yang memilih tidur-tiduran di bawah pohon. Ada juga yang
selalu sibuk nelpon. Gw yakin manusia ini gak ijin cuti, makanya dia dicariin
terus ama bos nya.
Kalau dilihat dari kualitas pasir
pantai, Liukang ini cukup bagus loh. Pasirnya putih, airnya jernih, dan di
depan mata kita bisa melihat pantai Bira yang letaknya hanya 10-15 menit naik
kapal. Rasanya berenang pun sanggup. *cuih gaya gw*. Oh btw, standar kecepatan
kapal disini cukup cepat dibanding dengan standar kapal di pulau seribu. Entah
mesinnya yang bertenaga, entah karena penumpangnya dibagi hingga hanya 5 orang
per kapalnya.
Niat awal yang ingin melanjutkan snorkeling
di pulau Liukang pun pupus sudah. Bukan karena situasi yang tidak memungkinkan,
tapi karena cuaca terlalu terik dan perut kami pun rasanya sudah kepenuhan
(baca: malas). Akhirnya kami kembali ke penginapan. Selesai berbilas, semua
sepakat untuk keliling ke lokasi pembuatan kapal Phinisi dan akan diakhiri
melihat sunset di pantai Bara. Konon pantai Bara ini favoritnya para bule.
Tidak ada deretan warung di sepanjang pantai, seperti di pantai Bira. Elf yang
mengantar kami ke Bira akhirnya disewa lagi untuk berkeliling. Saat masih di
Jakarta, sempat terpikir untuk sewa jasa ojek untuk keliling Tanjung Bira. Tapi
setelah melihat keadaan aslinya, rasanya mendapatkan 5-10 ojek atau pun
penyewaan motor dalam waktu singkat akan cenderung sulit.
Lokasi pembuatan kapal phinisi gak
jauh-jauh dari situ juga, kok. Kalau memang suka jalan, jalan kaki kesana gak akan
jauh-jauh amat. Kita tinggal keluar dari gerbang kompleks, melewati pelabuhan
(konon ferry ke Selayar berangkat dari pelabuhan ini) lalu susuri pantai
disitu. Dari kejauhan kami sudah dapat melihat keberadaan kapal-kapal cantik
tersebut. Perjalanan kesana pun tak kalah cantiknya, kita akan disuguhi pasir
landai yang luas dan bersih. Emang dasar orang-orang narsis, gak ada yang tahan
untuk gak ambil photo (atau minta di foto) di sepanjang pantai ini. Udara sore
yang sudah sejuk, ditambah badan seger habis mandi membuat hasrat moto-memoto
semakin tinggi (ngaruh gak sih?).
Setelah berjalan menyusuri pantai
sejauh 1 – 1,5 km, kami pun sampai ke lokasi pembuatan phinisi. Kapal-kapalnya
cakep loh. Kata semacam project supervisornya, kalo kita datang lebih sore
lagi, kita akan diijinkan naik untuk melihat-liat jeroan kapal yang sedang
dibuat. Dengan syarat berani naik tangga khusus tukang yang tinggi itu. Tau kan
tangga yang tinggi vertical tanpa ada pegangan itu tuh? =)) kalo gw sih jelas
ogah. Tinggi bener cuy. Ha ha ha.
|
Dari kejauhan sudah nampak lokasi pembuatan kapal Phinisi |
|
Situasi sekitar kapal Phinisi |
Ada beberapa kapal yang sedang mereka
garap. Tapi ada 2 yang nampaknya hampir mendekati wujud seharusnya. Butuh waktu
6 bulan untuk menjadikan kapal itu berwujud seperti sekarang. Kapal itu
terlihat cukup besar dan megah. Masih banyak pekerja yang bekerja sore itu,
dari gelagatnya, semua dilakukan secara manual. Bahkan butuh waktu 2 bulan untuk
memindahkan 1 kapal dari tengah pantai ke bibir pantai. Padahal jaraknya
hanyalah kurang lebih 20m. Para pekerja terdengar kompak menghitung aba-aba: yaaaaaak,
satu hah dua hah tiga hah! “Hah” diteriakan ketika mereka sama-sama menarik
tali tambang untuk menggeser kapal. Widiiih, mereka pasti pelanggan setia extra
joss.
Karena rasa penasaran, akhirnya gw
sempatkan untuk bertanya ke supervisor tersebut. Menurut dia, 1 kapal phinisi yang
hampir jadi itu dijual seharga Rp 6M. Sedangkan ukuran yang jauh lebih kecil
dihargai Rp600juta sajah. “yang pesan kapal, bule ostrali, nanti dia datang
sendiri untuk ambil kapalnya”, kira-kira begitu kata si supervisor. Pemilik pembuatan kapal tersebut adalah orang
lokal yang bernama H. Muslim Baso, lokasi rumahnya sendiri tidak jauh dari
situ.
Setelah selesai kami pun kembali ke Elf
untuk mengejar sunset di pantai Bara. Tapi emang dasar belum rejeki, si supir Elf
malah nyasar, walhasil begitu kami sampai di pantai Bara, matahari pun sudah
tenggelam. Dengan sedikit kecewa dan menunduk (bukan nunduk karena malu kami
anak babi, loh) kami pun pergi dari situ. Sebenernya pantai Bara ini bisa
dicapai dari pantai Bira. Dengan catatan laut sedang surut. Karena letaknya
persis bersebalahan dengan pantai Bira, namun dihalangin oleh batu karang besar
yang menjorok ke laut. Jalanan menuju Bara berupa batu kerikil dan lebih banyak
hutan-hutan semi alami. Pulang dari Bara, kami langsung mampir ke kedai bambu.
Rasanya memang kedai ini yang paling ramai deh. Ini adalah kedai yang sama yang
kemarin penuh oleh bule. Porsi masakannya sangat besar. Jika kita pesan nasi goreng
ayam, yang muncul adalah nasi goreng dengan sepotong dada/paha ayam utuh dengan
ukuran jumbo. Xixixixi.
Oh iya, sepanjang hari ini ada 4
pembelot yang memutuskan akan berpisah sementara dengan 6 orang lainnya. 4
orang tersebut adalah Tuik, Kobo, Phina dan gw sendiri. Dooooh, kenapa gw harus
ama dia lagi dia lagi. Cih! (lemparin Tuik, Kobo, Phina pake sandal swalownya
Phina, xixixi). Perpisahan sementara itu disebabkan kita berempat tidak mau mengikuti
itin si Jombil untuk dua hari kedepan. Daripada ikut Jombil yang akan melihat
kupu2 Bantimurung setibanya di Makasar, kami lebih memilih ke Toraja! Alhasil
sepanjang hari si Tuik sibuk brosing-brosing, Phina sebagai notulen, gw sebagai
ketua keamanan, dan Kobo sebagai… (apa yah?).
2
November 2013: Tanjung Bira – Makasar – Toraja
Makan pagi dihabiskan tim Toraja untuk
ngobrol dan mengkonfirmasi trip dadakan ke Toraja. Dengan bantuan supir Elf,
(Pak Ilham 0813 410 33 994), akhirnya kami berhasil mendapatkan jaminan nomer
kursi untuk bis malam PP dengan bis Metro Permai. Cukup lega karena akhirnya
kami benar-benar akan berangkat ke Toraja. Yipiiiiie yayooooy. 60% lega karena
akhirnya confirmed bisa berangkat, 40% lega karena kami tidak harus dicela-cela
oleh si Jombil. Coba bayangin kalo kami gagal berangkat, pasti dinyinyirin dan
disukur-sukurin. Wakakakak. Jadi rupanya, PO Metro Permai ini sering bekerja
sama dengan Mariki Tour and Travel tempat kami menyewa Elf. Pilihan bis malam
lainnya: Bintang Prima dan Litha.
Pagi ini jam 10 kami pun meninggalkan
Tanjung Bira. Perjalanan selama 6 jam kami habiskan untuk tidur, ngobrol dan
tidur. Sempat juga mampir ke restoran Aroma Laut di daerah Bantaeng. Nampaknya
restoran ini cukup banyak didatangi oleh para pejabat, atau setidaknya
orang-orang yang berlagak pejabat. Kali ini kami memesan, udang, ayam, ikan,
cumi, dkk. Gw pribadi cukup puas dengan rasa masakannya. Dan harganya sangat
reasonable, Rp400,000 untuk semua pesanan. Kami lanjutkan perjalanan dengan
perut yang bahagia.
Sekitar pukul 5.30 sore kami tiba di
Makasar. Langsung menuju lokasi penginapan di Jalan Jampea. Rupanya tidak
terlalu jauh dari Losari dan Fort Rotterdam. Tim Toraja pun segera mensabotase
kamar-kamar Tim Bantimurung. Kamar mereka kami pakai duluan untuk mandi, karena
tim Toraja harus mengejar bis malam yang berangkat jam 9. Hahahha kami berempat memang semena-mena.
PO Bis Metro Permai terletak di Jalan
Perintis. Naik taksi dari Jampea kesitu sekitar Rp50,000. Tadaaaa, ada ayam
pecel yang enak di dekat PO bis. Tuik dan gw akhirnya memutuskan untuk
membungkus nasi ayam pecel sebagai bekal sarapan kami besok di Toraja. Konon
makanan halal amat sangat sulit ditemukan disana. Jadi gw dan Tuik sudah
siap-siap untuk nyetok pop mie…..hmmm perlu gw sebutkan gak kalo gw jarang
makan pop mie? :D
Jam 9 tepat bus kami pun berangkat. Gw
sih surprise banget dengan kondisi bis malam ini. Dengan Rp150,000 kami
mendapat bis terbaik (grade high class). Bis besar dengan formasi bangku 2-2.
Bangku yang besar, lengkap dengan sandaran kaki, selimut hello kitty, bantal,
head rest/head holder yang sangat ergonomis, reclining seat yang bisa dimundurin
sepuasnya. Jarak antar kursi depan dan belakang pun sangat luas. Biar lebih
jelas, dengan ukuran tinggi badan gw yang minimalis, kaki gw gak bisa menyentuh
kursi depan gw lho. Wkwkkwkwkw.
Selama perjalanan, gw cuman bangun
beberapa kali untuk melihat kondisi jalan. Sewaktu gw bangun di sekitar jam 2
pagi, jalanan sungguh amat sempit. Bis harus menepi tiap kali ada kendaraan lewat
dari arah sebaliknya. Dan rasanya itu berlangsung cukup lama. Si Kobo bahkan
menyadari bahwa bis malam ini jalan sambil konvoi dengan bis lainnya. Oh iya,
bis ini akan berhenti beberapa kali, maka jika ada penumpang yang butuh ke kamar
kecil atau sekedar meluruskan badan, manfaatkan waktu tersebut ya!.
3
November 2013: Toraja - Makasar
Selamat pagi, Rantepao!!
Sampai juga kami di Rantepao setelah 9
jam perjalanan dengan bis malam. Ini sebagai tambahan bahwa kemarin di hari
yang sama kami sudah duduk di Elf selama 6 jam. Ha Ha Ha. Mayan deeeh. Turun dari bis kami langsung disambut
oleh gerombolan tukang ojek yang menawarkan jasanya.
Mereka bertanya kemana
tujuan kami, yang dengan polos gw jawab: “saya mau ke Toraja, Pak!”
Para ojek
membalas: “mbak sudah di Toraja nih!”
Gw: “oiya juga ya”.
-Wkwkwkkw-
Kami dijemput oleh supir Avanza (Etus,
0823 455 86 446) yang sudah kami pesan saat kami masih di Tanjung Bira. Mobil
ini dibawah kepemilikan perusahaan Metro Permai. Hingga saat ini mereka hanya
punya 1 mobil saja. Entah karena kami sudah pesan tiket PP bis malam mereka, maka harga
yang kami dapatkan untuk menyewa Avanza pun cukup murah. Rp350,000 dari jam 6
pagi hingga jam 9 malam nanti. Perjanjiannya adalah kami akan dijemput jam 6
pagi untuk dicarikan wisma murah. Wisma ini untuk mandi dan bersih-bersih saja.
Dijemput lagi sekitar jam 8.30 untuk langsung berkeliling Tana Toraja. Lalu
diantar kembali ke wisma pada jam 6 sore untuk mandi. Jam 7 malam dijemput lagi
untuk ngopi-ngopi dan langsung ke perwakilan PO bis Metro Prima.
Tana Toraja terdiri dari Tator Utara
(Rantepao) dan Tator Selatan (Makale), dengan total 26 kecamatan. Udara
cenderung sejuk pada pagi dan malam hari. Siang hari bisa berubah menjadi panas
banget sih. Jadi siap-siap aja pakai topi atau payung bagi yang gak tahan
panas, karena hampir seharian kalian bakal berada di udara terbuka.
Perjalanan diawali dengan mengunjungi Bori.
Di Bori kita dapat melihat menhir (batu panjang yang berdiri tegak), yang konon
penginggalan jaman megalitikum. Masuk lebih jauh ke atas, terdapat makam
keluarga yang terkumpul dalam 1 batu ukuran raksasa. Nah, ada beberapa batu
raksasa disana, Di sisi luar batu raksasa tersebut kita bisa melihat ceruk
hasil pahatan untuk menaruh tanduk kerbau untuk orang yang dikuburkan di dalam
batunya. Katanya kita bisa/boleh masuk ke dalam batu karena ukuran dalamnya yang
cukup lega. Batu untuk makam ini ternyata bisa dipesan, lho! Ada yang minat? :p
Biaya masuk ke Bori sebesar Rp10,000. Luas lokasinya sendiri memang tidak
terlalu besar, di seberang jalan kita bisa melihat hamparan padi-padi yang
menghijau. Pemandangannya tampak lebih indah saat kami akan keluar dibanding
saat masuk. Jadi, jangan lupa ambil foto-foto menhir dari angle ini yah.
|
Makam Batu di Bori |
|
Menhir di Bori |
|
Makam Batu. Pohon besar di sebelah kiri digunakan sebagai makam bayi yang belum tumbuh gigi |
Selanjutnya kami menuju Batu Tumonga,
yang berupa view point dimana kita dapat melihat keseluruhan kota Rantepao dari
atas gunung. Wow, kedengarannya menarik banget yah?! Tapi hal yang tidak kami
sangka-sangka, ternyata kami harus melewati kurang lebih 2 jam perjalanan naik
gunung. Sebab Batu Tumonga terletak di deratan gunung di seberang sana, bukan di
gunung yang tempat mobil kami berjalan sekarang. Kondisi jalanan yang rusak membuat kendaraan tidak
dapat melaju terlalu lancar. Menurut supir Avanza kami, sebenarnya ada jalan yang lebih dekat menuju Batu Tumonga, tapi sedang diperbaiki sehingga kendaraan tidak
dapat lewat. Padahal hanya perlu 30 menit saja kalau lewat situ. Setelah
melewati 1,5 jam perjalanan, Kobo dan Phina sudah mulai tidak sabar dan
pegal-pegal (kalian dah jompo ya?). Mereka minta kita untuk berhenti saja dan
berbalik pulang, padahal menurut supir jaraknya sudah dekat sih. Tapi ya entah seberapa
dekat, tidak pasti juga. Kami berhenti di sebuah makam batu yang batunya
teramat besar. Batu berisi makam itu teronggok begitu saja di tepi jalan. Wow,
luar biasa. Kami pun turun untuk mengabadikan batu tersebut. Nampak ada tangga
bambu bersender di batu itu. Bukan tangga bambu tukang yang biasa kita lihat
sih…melainkan satu batang bambu yang berukuran gemuk, di pahat hingga terdapat jejeran
ceruk dari bawah hingga atas untuk pijakan kaki. Puas berfoto-foto kami pun
balik arah menuju ke bawah. Sedikit kecewa memang, tapi waktu kami di Toraja
ini sangat terbatas. Jadi daripada membuang-buang waktu untuk sesuatu yang
kurang “khas Toraja”, kami pun berlapang dada untuk turun balik (sambil mikir
beneran lapang dada gak yak? hehehe). Tapi suwer deh, kan di Jawa juga banyak
dan udah sering juga melihat scenary yang serupa (tetap menghibur diri).
|
Pemandangan OTW ke Batu Tumonga |
|
Last stop kami saat gagal ke Batu Tumonga |
Selepas turun dari gunung, perut yang
kosong harus sedikit dijinakkan. Kami request ke si supir untuk mencarikan
restoran halal. Halal dalam arti ada tulisan halalnya. Akhirnya kami temukan di
jalan Ahmad Dahlan. Pemiliknya berasal dari Solo yang sudah lama tinggal di
Toraja. Disini terdapat mie pangsit, nasi campur, nasi dan mie goreng, dll.
Lumayan lah dengan harganya juga amat standar. Letak restoran ini persis di seberang
perwakilan PO Metro Permai. Oh iya, ada sedikit kabar gak enak nih, bis PO
Metro Permai jurusan Toraja – Makasar yang kami pesan kemarin ternyata
mengalami double booking. Ada orang lain yang udah duluan memesan kursi, namun
karena mereka kurang teliti, kursi itu terjual lagi ke kami. Ini hal yang
paling gw hindari, tapi ternyata kejadian juga. Namun mereka memberikan solusi
dengan mentransfer kami ke bis PO Litha. Tidak masalah deh, harga yang kami
dapatkan pun sama dengan biaya perginya, yaitu Rp150,000.
Okeeh, lanjuuuut…. Berikutnya kami
menuju Ketekesu. Namanya mungkin asing, tapi kalau kalian sudah liat pasti
langsung familiar. Karena spot ini teramat sangat sering menjadi incaran para
photographer. Itu lho, deretan rumah adat Toraja (Tongkonan) dengan semacan
plaza di tengah-tengahnya. Pada jalan masuk kami disuguhi danau dan padi-padi
an. OK gw lebay, suguhan pemandangannya gak secakep itu sih. Danaunya lebih
mirip empang yang sangat besar. Hihihi. Tapi sekilas, ada angle yang
mengingatkan gw akan lembah harau di bukit tinggi. Tapi ya cuman secuil dari
lembah harau tentunya. Untuk biaya restribusi kami membeli tiket seharga
Rp7000. Terdapat beberapa toko souvenir disana. Yang rupanya telah diam-diam kami
incar, tapi awalnya jaim dulu dong. Ha ha ha. Ngomong-ngomong, kalian sudah tau
kan bentuk rumah adat Toraja? Kalau belum, google aja ya! Dijamin lebih akurat
daripada deskripsi gw :p
|
Ketekesu dengan jejeran Tongkonan (rumah adat Toraja) |
Di tiang depan tongkonan ini terdapat
deretan tanduk kerbau yang telah dikorbankan pada pesta pemakaman. Normalnya
tanduk itu dijejerkan vertikal. Dalam 1 tiang itu, hanya boleh diisi tanduk
untuk satu keluarga. Jadi, semakin banyak jumlah tanduknya, dijamin tingkat
sosial keluarga mereka semakin tinggi. Menarik yah?
Yup, gak banyak yang bisa di eksplore
di Ketekesu. Puas dari situ kami langsung menuju Londa. Disinilah letak goa alami yang tempat
penyimpanan peti-peti mayat. Yang bisa berkumpul disini pun tidak sembarang
mayat, hanya keluarga dengan kasta tertinggi yang bisa dimakamkan disini.
Menuju pintu masuk, kami ditawarkan menyewa lampu minyak untuk membantu
penerangan di goa. Lampu dihargai Rp30,000, kalau mau bawa sendiri boleh, kalau
mau dengan jasa guide juga boleh. Guide tidak mematok harga lagi, kita bisa
kasi seiklasnya. Begitu memasuki gerbang, kami melihat dataran tinggi dengan
dinding bebatuan. Disanalah goa-goa nya berada. Ya, terdapat 2 goa di Londa. Di
dinding bebatuan itu terdapat begitu banyak peti mati yang di selip-selipkan di
celah celah bebatuan. Ada juga yang digantung dengan tali, ada yang diletakkan
begitu saja di bawah. Lalu di bagian atas ada semacam jendela dimana terdapat
deretan boneka yang seolah olah menonton para pengunjung di bawah. Jendela itu
mengingatkan gw akan ruang VVIP di acara-acara olah raga atau pun teather yang
sering ada di pelem pelem ntu tuh. Yang agak aneh menurut gw, terdapat papan karangan
bunga ukuran besar tanda bela sungkawa bersender di sisi dinding batu tersebut.
Hehehe, suasana mistis nya jadi berkurang deh. Nah, saatnya memasuki goa. Goa
yang pertama ternyata hanya sedalam 25m dari lubang masuknya. Kobo sempat ragu-ragu
untuk masuk, bahkan menolak untuk masuk. Ha ha ha, dasar Kobo cupu ah :p Tapi
setelah berhasil diyakinkan, Kobo dan Phina akhirnya masuk. Harap perhatikan
bahwa ada larangan untuk menyentuh barang-barang yang terdapat di dalam goa!
Pemandangan di dalam kurang lebih sama dengan di luar, terdapat peti mati yang
masih lengkap dengan kain penutupnya. Terdapat juga semacam “sajen” di dekat
dekat situ. Tengkorak manusia pun tampak bertebaran disana sini, ada yang
bertumpuk di celah goa, ada yang ngumpet sendirian. Pokoknya seru! Kami cukup
puas mengambil beberapa photo saja, tanpa ada yang mau berfoto bersama
tengkorak. Ha ha ha. Keluar dari situ, kami pindah ke goa yang kedua. Kedalaman
goa yang kedua bahkan cuman 7m. Isinya pun kurang lebih sama dengan goa yang
pertama.
|
Bagian luar goa di Londa |
Di Londa juga terdapat beberapa toko
souvenir. Kebetulan alarm mobil sewaan kami mengalami gangguan, hal ini membuat
si supir sibuk mencari bantuan ke supir lainnya. Menggunakan jeda waktu itu,
kami pun melihat-lihat toko tersebut.
Dari sini kami memutuskan untuk kembali ke penginapan untuk mandi dan
bersiap-siap pulang. Rencana kami untuk mampir ke Lemo akhirnya dibatalkan
karena hari sudah terlalu sore, pun mobil kami nampaknya mengalami sedikit
gangguan. Tapi sebelumnya kami mampir dulu ke pasar baru untuk membeli kopi Toraja.
Disini biji kopi digiling pada saat pembelian. Jika kalian mau membeli dalam
jumlah banyak, pastikan sisa waktu kalian cukup yah, karena butuh waktu yang
agak lumayan nih untuk menunggu prosesnya.
Antara Ketekesu, Londa, Bori
sebenarnya tidak terlalu jauh. Tiap lokasi paling-paling hanya berjarak 7km.
Dan selama dalam perjalanan hari ini, entah berapa kali kami melihat kerbau
belang yang harganya selangit itu. Menurut gw, kerbau belang itu lebih mirip
kerbau albino. Memang kalau dari segi ukuran, bisa dibilang ukuran Bangkok
punya. Besar cuy! Ngeliat kakinya aja mantep banget tuh besarnya. Pernah ada
cerita, dimana kerbau menabrak mobil Avanza. Pengendara Avanza marah kepada
pemilik kerbau. Bukannya minta maaf, si pemilik kerbau malah balik marah…dia
bilang: “kerbau saya lebih mahal dari mobil kamu. Lebih baik mobilnya yang
rusak dibanding kerbau saya”. Weeew, segitu berharganya yah kerbau hingga
harganya bisa mencapai 300 jutaan rupiah.
|
Kerbau belang |
Sesuai tradisi animisme Aluk Todolo,
sebelum pesta pemakaman, jumlah kerbau yang akan dikorbankan pun harus dihitung
dulu. Jika dulu moyangnya mampu mengorbankan sejumlah kerbau, maka kali ini
jumlah kerbaunya harus lebih banyak, atau minimal sama. Tapi memang sih, dalam
satu pesta, gak semua kerbau harus berupa kerbau belang. Karena dalam sekali
pesta, jumlah kerbaunya bahkan ada yang mencapai ratusan. Pengaturan kerbau
dari yang mahal hingga murah ini mereka sebut dengan Sapurandanan. Itung
sendiri ya berapa kira-kira biaya yang dikeluarkan anak cucunya untuk merayakan
pemakaman ortu atau buyut nya. Ngeriiiii bayarnya ya…tapi namanya adat, justru
inilah yang memperkaya keberagaman bangsa. Ya gak ya gak?
Nah, balik lagi ke wisma, kami pun
mandi dan bersiap-siap untuk diantar ke perwakilan PO Litha. Wisma kami ini
lebih mirip kos-kosan. Harga perharinya yang Rp100,000,- itu setelah kami
berhasil meyakinkan pemilik, bahwa kami tidak menginap dan hanya numpang mandi.
Lumayan murah banget deh harganya. Hehehe.
Jam 9 tepat bis malam kami pun berangkat
menuju Makasar. Bis akan sampai pada pukul 6 pagi. Tapi kami sedikit kecewa
dengan kondisi bis PO Litha. Bukannya apa-apa sih, tapi dengan membayar harga
yang sama, ternyata grade bis masih dibawah armada PO Metro Permai yang kami
tumpangi kemarin (grade kali ini hanya Super Eksekutif). Dalam arti, PO Litha
ini sepertinya sudah lebih dulu punya nama dibanding PO Metro Permai, jadi
standar harga dia pun lebih mahal. Ruang kaki tidak seluas bis kemarin.
Otomatis sandaran punggung pun tidak bisa di turunkan maksimal. Selimut
tersedia, namun tanpa bantal. Tapi tak apa, yang penting kami bisa sampai tepat
waktu di Makasar.
4
November 2013: Makasar
Tiba 1 jam lebih cepat dari perkiraan,
jam 5 pagi kami pun sampai di Makasar. Dari situ kami naik taksi menuju Jl.
Jampea tempat kami akan kembali berkumpul dengan 6 orang teman kami. Kali ini
biaya taxi lebih murah, hanya sekitar Rp40,000,-
Setelah sarapan berbagai macam jenis,
jam 8 liwat sedikit kamipun berjalan kaki menuju pelabuhan antar pulau.
Letaknya persis di depan Fort Rotterdam, tidak sulit mencarinya. Kapal kami
dapatkan dengan harga Rp750,000 untuk mendatangi 2 pulau, yaitu pulau Samalona
dan pulau Kodengareng. Kalau kamu mau sewa ke pulau Samalona saja, kalian bisa
dapatkan dengan harga Rp500,000. Kapal kali ini berupa kapal kayu dan ukurannya
cukup untuk menampung kami semua. Butuh kurang lebih 30 menit untuk mencapai
Kodengareng. Sedangkan ke Samalona hanya butuh 15menit.
Sesampainya disana, kami mendapati
bahwa arus cukup deras dan kondisi under water yang tidak menarik. Ternyata
pulau ini hanya semacam gusung. Saking kecil kecilnya sehingga kita dapat
melihat seluruh permukaan pulau dari kejauhan. Akhirnya kami meminta ABK untuk
kembali menjalankan perahu untuk mencari spot under water yang lebih menarik. Tidak
sampai 20 meter berjalan..terlihat kondisi bawah laut yang teramat sangat
menarik. Awalnya ada yang sempat ragu untuk turun, karena berkeliaran semacam
ubur-ubur tanpa sengat yang berukuran sangat amat kecil. Tapi begitu 1 orang
menceburkan diri, semua ikut turun =))
Intip deh sebagian foto-foto underwaternya...
|
Berebut berfoto dengan nemoooo |
|
Kayak bulu ayam yah, kalo dideketin dia mengerucup (kata Onad) |
Gak sia-sia bro, kondisi bawah lautnya
ciamiiiik!!!! Suweer!!! Kedalaman berkisar antara 1-1,5m saja loh, jadi kami
harus berhati-hati agar jangan sampai menginjak karang. Waw, nemo dimana-mana,
soft coral bertebaran. Dan anemonnya menari-nari terkena ombak!! Lovely J Gw amat sangat menikmati mengapung
diatasnya. Rasanya sulit dipercaya, pulau ini terletak gak jauh dari Makasar,
deket pelabuhan kontener pulak. Dimana pelabuhan ini juga sederetan dengan
pantai Losari, yang bisa diibaratkan seperti pantai Ancolnya Jakarta. Tapi di
pulau ini bisa terdapat alam bawah laut yang diluar perkiraan. Sinting. Spot
ini sebenarnya tidak terlalu luas, palingan juga hanya 50x50m lah. Menurut si
Jombil, kondisinya under waternya mirip dengan Karimun Jawa. Hanya saja Karjaw
jauuuu lebih luas. Setelah puas melihat spot ini, kami pun naik ke kapal untuk
mencari spot yang lain. Namun tidak ketemu lagi. Hehehe. Kami pun langsung
menuju pulau Samalona.
Di Samalona, kami berencana untuk
makan siang dan juga mencari spot snorkeling. Konon di pulau ini terdapat
ribuan ikan nemo. Atau setidaknya itu lah yang Oni dan Boling katakan. Sesampainya
disana kami langsung diserbu oleh penjaja bale-bale, toilet, ikan bakar, dkk.
Agak kurang nyaman sih jadinya.
Harga bale-bale, 3 ekor ikan ukuran
kecil dan sedang, semacam tiram, nasi, sambal, sayur dihargai Rp450,000 SAJA
loh =)) makan siangnya bener-bener dirampok!!! Selepas makan, sekitar jam 2
kami ingin mengeksplor bawah pulau Samalona, namun ternyata arus deras sekali.
Akhirnya kami putuskan untuk berenang-renang santai saja di pantai yang landai,
pasir putih, dan air yang jernih. Hmmm, tau gak, kita bisa melihat pinggiran
kota Makasar dari sini. Cantik betul. Tapi sayang, banyak ternoda oleh
sampah-sampah yang mengapung disini.
|
Pulau Samalona, hanya 15 dari pelabuhan antar pulau |
Dari situ kami pun lantas kembali ke
penginapan. Selesai berbilas, gw, Tuik, Phina, Kobo, Dita dan Budi memutuskan
untuk mengexplore area sekitar Losari, Fort Rotterdam dan sekitarnya. Ternyata
banyak toko oleh-oleh, lho. Sayang sekali kita agak kebingungan gimana caranya
mengangkut itu ke Jakarta.
Malamnya kami sibuk packing dan
memberi kejutan ulang-tahun-yang-udah-lewat buat Jombil dan Phina. Selesai itu
kami pun berkumpul untuk pengumuman biaya sharing cost, yang sudah kami
setorkan dari sejak beberapa bulan sebelumnya. Jam 2 pagi kami bangun dan
bersiap-siap ke bandara untuk penerbangan jam 4.30 waktu setempat.
Jakarta,
kami pulang.