Senin, 18 November 2013

Dimana Tangkahan?


Pertama kali nyobain brosing tentang Tangkahan - SUMUT, yang nongol adalah foto hutan lebat dengan gajah-gajah pengarung sungai yang bisa di tunggangi. Kedengerannya kece, ya? Harusnya memang kece, sih! Teracuni oleh foto seperti itu, akhir tahun 2012 lalu gue sekeluarga nyaris pergi kesana. Tapi akhirnya pilihan dijatuhkan ke destinasi lain, Tangkahan harus menunggu.

Nama Tangkahan memang gak sebeken Berastagi dan Danau Toba, bahkan untuk warga Medan sekalipun. Sekalinya ada yang familiar dengan nama itu, dia pun akan bertanya balik: “mau liat apaa sih disana? Hutan biasa doang”. Weew, OK deh kaka…(dalam hati gue: belum tau aja lu, pemandangan disana pasti keren bingiiits!)

Pucuk dicinta ulam pun tiba, hari kejepit Idul Adha 2013 kemarin, gue bisa nyuri waktu untuk terbang ke Medan. Kebetulan dua orang kakak gue berdomisili disana. Mulailah gue dan para kakak bertanya kesana-kemari mengenai akses, situasi di TKP, dll. Bermodal info seadanya, akhirnya tim yang berjumlah 9 orang pun berangkut dengan 1 mobil. Iya, SATU MOBIL untuk semua. Dan keseruan demi keseruan pun dimulai.  Hari Minggu sekitar jam 9 pagi kami sudah duduk manis di mobil. Memang harus manis sih, gak bisa grasak-grusuk…secara gak ada ruang untuk bergerak, booook! Empat orang memang masih berusia kanak-kanak, tapi dimensi tubuh mereka gak kalah besarnya dengan gue. Kebayang gak tuh?

Menurut informasi, dari kota Medan dibutuhkan waktu 3jam untuk mencapai Tangkahan. Setelah hampir 2 jam perjalanan, kami melihat plang  dengan arah panah “Tangkahan 60KM”. Horeeee…jarak semakin dekat, nih. Jalanan masih terbuat dari aspal, namun semakin menyempit. Pemandangan di kanan kiri jalan pun silih berganti. Diawali dengan pepohonan kelapa sawit yang seolah tumbuh di rawa-rawa, kemudian muncul dataran berumput hijau dengan latar belakang perbukitan. Beberapa kali kami berhenti untuk bertanya arah, sebab terdapat beberapa percabangan jalan tanpa pentunjuk yang jelas. Setelah beberapa saat, pedesaan mulai lenyap dan digantikan dengan perkebunan sawit. Aspal pun telah berubah menjadi batu kerikil yang ditebar asal-asalan. Tiga jam perjalanan telah dilalui, namun belum ada tanda-tanda kami akan sampai. Anak-anak pun mulai bertanya-tanya: “sebenernya kita mau liat apaan sih disana?” Gue cuman mesem-mesem aja deh, soalnya gue pun gak punya jawaban yang jelas. Hihihihi. 

Kembali jalanan mulai tampak membingungkan, untungnya kami kembali menemui pedesaan untuk bertanya. Saat ditanya mengenai arah, mereka menjawab: “ikutin aja kabel listriknya”. Yah, setidaknya ada panduan yang jelas nih kali ini. Kira-kira 1 jam kemudian, akhirnya kami berhasil mencapai pintu masuk Tangkahan. YES!

Gak ada yang istimewa dari pintu masuk Tangkahan. Hanya ada bangunan yang berisi jejeran warung yang tutup, toilet, loket (yang gak tau juga untuk apa, karena kami tidak dimintai biaya restribusi saat masuk ke dalam). Melewati lorong di dalam bangunan tersebut, kita diarahkan untuk turun puluhan anak tangga menuju sungai dibawah. Tidak ada yang menarik dari sungai utama yang berwana kecoklatan itu. Yang mencuri perhatian, di seberang sana ada cabang sungai yang cukup lebar dengan warna yang sangat bening. Uniknya, warna air yang bening dan coklat tidak bercampur sama sekali. Terlihat jelas batas antara air keruh dan air yang lebih jernih. Kelihatannya bakal seger kalo cibang-cibung disana, beberapa orang pun tampak sudah beraktivitas di sekitar sungai. Ada yang river tubing, ada yang sekedar berendam saja, bahkan ada yang mencuci baju.

Dari atas sudah keliatan (dan terdengar) kalau sungai yang berwana coklat itu mengalir dengan amat sangat deras. Rasanya mustahil kami bisa nyebrang pakai kaki ataupun berenang. Untungnya ada jasa rakit untuk menyebrang, dimana tiap orang dikenakan biaya sebesar Rp3000,- untuk PP.  Rakit yang dilengkapi dengan atap itu dikaitkan dengan tali untuk mencegah hanyut terbawa arus.

Rakit untuk menyebrang


Sesampainya di sebrang aliran sungai coklat, ada semacam “pantai” kecil dengan bebatuan kerikil datar yang bisa jadi tempat piknik. Mengingat sempitnya lokasi, idealnya hanya bisa beberapa keluarga saja yang muat “ngetem” (baca: gelar tiket untuk makan) disitu. Tepat di titik ini, gue agak mati gaya. Pilihan gue ada dua: (1) Mau bawa para bocah mandi-mandi cantik, tapi pinggiran sungainya kurang asik buat disebrangi. (2) Mau dibawa naik ke tangga naik ke bukit atas, tapi kayaknya di atas gak ada apa-apa. Akhirnya gue putuskan naik tangga duluan, ceritnya mau survey dulu deh sebelum bawa ponakan dan nyokap naik tangga. Soalnya, konon ada tempat yang landai dan enak untuk “turun” ke sungai kalau kita naik dulu ke atas bukit.

Di atas ternyata terdapat perkampungan penduduk, situasinya persis kayak di belakang rumah gue jaman dahulu kala. Setelah berhasil menemukan jalur untuk turun sungai yang dimaksut, gue pikir tidak perlu membawa keluarga kesitu. Sama sekali gak ada yang menarik, cuy! Denger-denger sih ada air terjun di balik pegunungan disana, tapi gak gue kesini bukan untuk ngeliat air terjun. Jadi gue lupakan aja opsinya, toh gak jelas juga letaknya dimana. Jadi gue nyetanin keluarga untuk kesini tuh sebenernya untuk liat apa sih? He he he.

Sesampainya lagi di “pantai”…nyokap, kakak dan uwak gue udah nyiapin bekel makanan. Wuih, untung aja bawa bekel..kalo enggak ya cuman bisa gigit jari dan kelaparan sampai malam tiba. Kelar makan, akhirnya beberapa dari kami pun gak tahan lagi untuk nyebur ke sungai. Ternyata di sungai bening ini arusnya juga lumayan deras. Padahal gak keliatan sama sekali dari permukaannya, lho.

Sebelum menyebrang


Puas merasakan dinginnya sungai, akhirnya semua kembali naik ke permukaan untuk mengintip pemandian gajah. Artinya, kami wajib menyebrang lagi dengan rakit, lalu dengan mobil menuju ke area tersebut. Setelah gak jauh berkendara, mulai kelihatan ada keluarga gajah yang lagi ngemil rerumputan, terdiri dari ayah ibu dan anak (sotoy ajah sih gue). Area ketiganya berada, dibatasi dengan pagar kayu dan kawat nan langsing. Jangan-jangan kawatnya dialiri listrik :p

Pas buanget, kami sampai beberapa saat sebelum gajah akan dimandikan, yaitu jam 3.30 sore. Dalam sehari, gajah akan dimandikan 2x. Memandikan gajah ini memang dikomersilkan, jadi kalau kalian mau memandikan gajah, bayarlah  Rp.25.000,- Saat akan dimandikan, gajah diiring turun ke sungai dibawah. Iya, pemandian ini berada di hulu. Berarti air sungai yang coklat dan deras tempat kita menyebrang dengan rakit tadi….bekas mandinya gajah *pasang muka lempeng*. Untung gue gak nyemplung disitu!

Gue sekeluarga sih gak ada yang tertarik untuk memandikan gajah, cukup nonton ajah. Soalnya bauuuuuk buaanget. Itu udah mandi 2x sehari loh, bayangkan bauknya gajah liar yang jarang mandi!?


Sesampainya di tepi sungai, ada pemandangan yang sedikit menjijikkan disini. Satu dari gajah yang masi kecil dibantu si pawang untuk BAB. Tau gak dibantu dengan cara apa? Gak pake ba-bi-bu, tangan telanjang si pawang masuk ke dubur gajah dan mengambil langsung dari dalamnya. HUHAUHUAHUAHUAHUA. AMIT-AMIIIIIT.

Perhatikan oknum berbaju hijau. Makin lama, tangannya itu "masuk" hingga ke ketiaknya =))


Pukul 4 sore kami sekeluarga pun segera pulang, demi menghindari bermobil sendirian di jalan gelap dan berkerikil di perkebunan sepi  tadi.


Jadi, pesan moral dari cerita gue adalah: datanglah ke TN Tangkahan hanya jika kalian kurang kerjaan dan kebetulan cukup iseng pergi jauh-jauh hanya untuk melihat sungai. =))

Jalanan menuju Tangkahan


Senin, 11 November 2013

Akhirnya Sampai ke Sulawesi



Tanjung Bira, Toraja, Makasar (P. Samalona & P. Kodingareng Keke)

Entah ada bisikan ghoib dari mana, kok rasa-rasanya gw pengen nulis tentang trip gw kali ini. Sungguh ini se-su-a-tu. Ini bakalan jadi catatan perjalanan (catper) gw yang kedua. Catper yang pertama ditulis dibawah todongan pisau temen gw, alias dipaksa. Peringatan ya….tulisan ini puanjaaang sekali, sebaiknya dibaca sambil bobo-bobo cantik.

Jadi, ada dedemit trip yang hobi nyetanin temen-temen rempongnya untuk bikin trip bareng. Tujuan kali ini ke Tanjung Bira, Sulawesi Selatan. Gw  cukup yakin alasan trip kesana semata-mata karena ada tiket pesawat promo jenis LCC. Cukup senang juga sih karena ini bakalan jadi perjalanan pertama gw ke tanah Sulawesi. Yippiiee!!!

Gw pergi bareng dengan gerombolan yang punya hobi jalan-jalan. Mulai dari yang jalan murah hingga yang murah banget. Gerombolan kita udah lumayan sering jalan bareng, mulai dari Phuket, Pulau Seribu, air terjun Cilember ampek wisata kuliner. Belum lagi perjalanan mereka tanpa gw, gak terhitung banyaknya (kok gw ditinggal siiiiiih????). Dalam tempo yang cukup singkat, si dedemit trip ini berhasil mengajak 10 orang untuk budget sharing selama perjalanan di sana nanti. Mayan juga bro, perkiraan cost bisa ditekan seminim mungkin. Tim kali ini terdiri dari:

1.  Jombil = si dedemit dan juga pemilik kamera canggih. Bertanggung jawab untuk membuat itinerary. Lebih baik gak usah deket-deket dia, kecuali tahan dinyinyirin.
2.     Onad = bertindak sebagai seksi operation Rempong. Pernah diet, lalu menyesal jadi kurus sehingga dia buncit kembali.
3.     Agnes / Cipit = bendahara yang berprofesi sebagai ikan duyung.
4.     Dwi/Tuik = model berkerudung yang super narsis.
5.     Gw sendiri = model yang gak terlalu narsis.
6.     Ichyin = anak labil yang umurnya udah dewasa.
7.  Kobo = photographer andalan segala bangsa. Bukan karena kepintarannya menjepret, tapi karena Galaxy Mega-nya yang masih gress dan casing kamera anti airnya.
8.   Phina = pacarnya Kobo. Keberadaan dia cuman ngerecokin orang-orang doang. Pokoknya dia gak penting.
9.     Budi = temennya Tuik. Mukanya mirip Oni (siapa Oni? Orangnya gak penting, jadi gak penting juga untuk dijelasin. Xixixi.)
10. Dita = temennya Budi. Dimana-mana selalu jalan bareng Budi. Ehem.


Kesepuluh Personil


31 Oktober 2013: Jakarta – Makasar – Tanjung Bira

Hari keberangkatan pun tiba. Tanggal 31 Oktober pagi buta kami bersembilan berkumpul di bandara, mengejar pesawat yang akan take-off jam 6.25. Budi menyusul ke Makasar dari working sitenya di Balikpapan. Karena masih banyak waktu sebelum boarding, kami putuskan untuk sarapan di CK. Gw makan pop mie dan arem-arem yang dibawa oleh Agnes. Gpp kan gw makan pop mie? Gw kan jarang makan indomie, suwer deh! Hampir sepanjang 2 jam perjalanan di pesawat, kami (tepatnya gw) tidur dengan awet. Pada jam 10 pagi waktu setempat kami pun sampai di Makasar. Oh iya, Makasar itu 1 jam lebih awal dari waktu Jakarta, lho. Gara-gara Budi gak berangkat bareng dari Jakarta, akhirnya kamipun harus menunggu dia yang baru akan sampai jam 11.30 siang (nyusahin aja lu, Bud).

Sembari menunggu Budi, kami pun menjelajahi bandara untuk melihat apa yang kira-kira apa yang bisa disantap disana. Sebagian besar teman memilih nongkrong di KFC, sementara gw, Kobo dan Phina memilih makan coto makasar. Seporsi coto dihargai 21rb. Not bad yah. Tapi setelah coto nya disajikan, ternyata harga tersebut belum termasuk nasi. OK lah, kita pesen nasi. Eeeeeh, ternyata coto nya kaga ada enak-enaknya. Huhh, ini semua gara-gara Budi (gak nyambung sih).

Setelah Budi sampai, jam 12an kami lantas berangkat dengan mengendarai Elf sewaan untuk mengantar ke Tanjung Bira. Sepanjang perjalanan, si Phina selalu pasang mata untuk mencari GRAPARI. Helloooo,….Axis gak dapat sinyal yah? Hari gini kok masih pake Axis? Wkwkwkwk. Kontan dia pun nyalah-nyalahin si Tuik yang bekerja di Axis.  

Butuh 6 jam untuk mencapai Tanjung Bira dari Makasar. Gw yakin 2/3 dari total perjalanan gw habiskan dengan tidur-tidur ayam dan tidur pulas. Sekitar jam 6 sore kami pun sampai di TKP. Untuk dapat masuk ke dalam “kompleks” penginapan disana, kami wajib membayar biaya restribusi sebesar Rp10,000 per kepala. Kami menginap di sebuah home stay yang nyaman dengan harga yang masih terjangkau. Penginapan “Pasir Putih” yang dikelola oleh pak Andi Arham ini terdiri dari beberapa kamar. Menurut gw, kamar yang paling menarik yang terletak di bagian depan, berupa rumah panggung. Kamarnya sangat luas, dengan pendingin ruangan serta kamar mandi di dalam. Fasilitas itu didapat dengan bayaran Rp250,000 per malam, per kamar bisa dihuni untuk 3 orang. Sejujurnya dengan luas kamar seperti itu, 6 orang pun muat masuk ke dalamnya. Dari 10 orang tersebut kami sepakat untuk membagi jadi 3 kamar, para cewek di bagi jadi 2 kamar, dan para cowok umpel-umpelan dalam 1 kamar saja (emang enak?). Entah ketiban sial apa, gw sekamar dengan Tuik dan Phina. Pembagian yang sungguh tidak adil ini didasari oleh: kesamaan ukuran tubuh kita bertiga yang setinggi anak SD jaman sekarang. Oh ow, 2 hari sekamar dengan mereka, horror pun dimulai.

Malam pertama kami lalui dengan santai-santai, meskipun senang karena ternyata kamar yang kami pesan cukup bersih, tapi tentu kami memilih untuk keliling melihat-lihat keadaan alam di sekitar kompleks. Ternyata penginapan kami gak jauh dari spot pantai yang sering muncul kalo kalian google keyword “tanjung bira”. Yaeyalaaah, wong daerahnya disitu-situ juga. Xixixixi.

Usai melihat-lihat ditengah gelap, kami pun mencari makanan untuk mengisi kekosongan hati, eh maksut gw untuk mengisi perut. (Diiiiiiiiih, ada yang curcol!!). Awalnya agak bingung juga mau cari makan dimana, secara sepanjang jalan udah kayak kota mati ajah! Warung-warung tutup, kedai nasi apalagi. Bahkan pemilik penginapan kami pun tidak bisa menyediakan makanan untuk malam itu. Lagi ada acara, gitu alasannya. Satu-satunya tempat yang buka dan nampak ada kehidupan, sudah ramai diisi oleh bule, gak ada space kosong untuk kami yang bersepuluh ini. Gw sih gak terlalu laper, tapi demi nemenin temen-temen yang sedang kelaparan, gw bela-balain deh ikut makan. Percaya kan?

Singkat cerita akhirnya ketemu juga tuh kedai nasi. Beberapa teman memesan nasi dan ada juga yang memesan indomie rebus. Gw sendiri akhirnya memesan indomie goreng + telor ceplok yang seporsi dihargai Rp8000. Si Tuik yang memesan indomie rebus terheran-heran, dia dapat mie rebus dan telor rebus bulat utuh. Hihihihi. Penyajiannya agak ajaib buat selera dia. Disaat gw menikmati pesanan indomie goreng, tiba-tiba datang lagi indomie goreng + telor ceplok yang tak bertuan. Gak ada yang ngaku kalo memesan mie goreng. Jadi yaudahlah daripada mubazir, gw embat juga itu indomie. Walhasil gw dah ngabisin 2 porsi malam itu. Gpp kan yah gw makan indomie? Gw kan jarang makan indomie. Duuh, merasa bersalah deh, padahal gw lagi gak laper, lho! Xixixixi.

Selesai makan kami semua menghampiri pemilik penyewaan kapal untuk menyebrang ke pulau Liukang dan pulau Kambing. Identitas pemilik kapal itu kami dapatkan berdasarkan rekomendasi dari Pak Andi. Usut punya usut, kedua pulau tersebut letaknya tidak jauh dengan dari pantai Tanjung Bira. Menurut pemilik kapal, hanya butuh 7 menit untuk menyebrang ke pulau Liukang dan 15 menit untuk ke pulau Kambing. Setelah bernego cukup alot, akhirnya pemilik kapal berhasil meyakinkan kami kalau Rp650,000 sudah cukup murah untuk penyewaan kapal dari jam 8 pagi s/d 3 sore. Artinya, kami hanya diberi diskon Rp50,000 dari penawaran awal. Menurutnya, kapal tersebut cukup besar untuk menampung kami bersepuluh. Harga segitu sudah termasuk life vest. Bagi yang tidak membawa peralatan snorkeling (mask dan snorkel) bisa menyewa seharga Rp20,000 saja. Sebenarnya gw request untuk liat fisik kapalnya dulu sih, tapi kata si bapak itu, kapalnya gak bisa diliat karena lagi di tengah laut. Yaudah deh.

1 November 2013 – Tanjung Bira

Esok telah tiba, pagi ini kami semua sarapan nasi goreng telor dadar, lumayan lah untuk bekal energy snorkeling sebentar lagi. Sembari menunggu pesanan datang, gw sempet jalan-jalan sekitar penginapan. Wah, uang restribusi yang kami bayarkan di pintu gerbang tadi malam gak sia-sia, lho. Jalanan bersih dan nampak tukang sapu yang siap sedia membersihkan jalanan. Hanya saja banyak “ranjau” bertebaran yang terlewat untuk dibersihkan. Ranjau-ranjau itu berupa kotoran kambing. Ya, kambing adalah salah satu binatang yang amat lumrah ditemukan di daerah ini. Menurut gw sih udah semacam melihat kucing di perumahan ajah.

Suasana desa penginapan di Bira


Matahari bersinar dengan amat terik. Alhamdulillah karena kami bakalan berlayar dengan cuaca yang cerah banget nget nget ini. Setelah menjemput life vest, kami langsung menuju ke pantai. Woooooooww, pasirnya putih banjeeeets. Birunya pun surprisingly keceeh, bro! Maklum, tadi malem kan putihnya pantai gak keliatan. Trus trus, kedua pulau yang akan kami datangi ternyata emang beneran deket ket ket dari pantai Bira. Saking dekatnya, bahkan semut diujung sana pun dapat terlihat dengan jelas. OK gw agak lebay sih.

Pantai Bira



Ombil dan Onad yang udah sampai duluan di pantai memanggil kami untuk berkumpul. Ternyata kapal yang semalam kami sewa ukurannya mini banget. Kapal fiber, cantik dan mungil sih, tapi agak bikin was-was juga kalo harus ditumpangi oleh 10 orang. Belum lagi beban barang-barang bawaan kami. Untuk alasan keselamatan, si Jombil nego ulang ke si Bapak pemilik kapal. Kami memesan 2 kapal, tapi tentunya dengan meminta harga yang lebih murah. Dengan cepat si Bapak memberikan harga Rp. 500,000 per kapal. Hohoho, lesson to learn bagi yang mau kesana: lain kali tawar aja gopek yak untuk 1 kapal. Xixixixi. Oh ya, kapal kedua yang kami pesan itu berupa kapal kayu, gak sekeren dari yang pertama tadi. Tapi ukurannya jauh lebih besar.

Kami semua langsung ke pulau Kambing. Kami benar-benar menikmati perjalanan itu…laut yang jernih dan udara yang cerah. Kita dapat bocoran bahwa disebut pulau Kambing gara-gara ditemukan banyak kambing disana. Tapi sesampainya disana, yang gw liat cuman karang :D tidak tampak batang hidung si kambing.

Pulau Kambing

P. Kambing yang mengingatkan gw akan salah satu pulau di Phuket.


Turun ke laut, sejujurnya agak kecewa sih dengan pemandangan under water di spot itu. Airnya memang cukup jernih, tapi coralnya putih, gak jauh beda deh dengan keadaan coral di kepulauan seribu. Meskipun yaaah, sedikit lebih baik lah kondisi disini. Sisi pulau kambing yang kami datangi ini berupa tebing karang yang cukup menarik. Memang bukan tebing yang tinggi buanget sih, palingan sekitar 5-7 meteran lah. Jadi sepanjang penglihatan gw gak ada pantai berpasir landai. Gak tau juga deh bagaimana keadaan sisi yang lainnya lagi. Merasa bosan, satu persatu mulai naik kapal. Si Agnes dan Jombil yang masih berpetualang di bawah air bertanya-tanya: “kok udahan, waktu kita kan masih lama?!” Namun rupanya entah mereka menyerah entah mereka pun bosan, akhirnya mereka naik juga ke kapal. Perjalanan kami lanjutkan ke Pulau Liukang.

UW di Pulau Liukang

Bermain-main di Pulau Liukang

Gak penting :D


Pulau Liukang tuh yang tadi itu lho, yang gw bilang bisa liat semut dari pantai Bira saking deketnya. Mendekati pulau itu, kami semua sempat turun kembali untuk menyaksikan keindahan bawah lautnya. Hampir serupa dengan Pulau Kambing, hanya saja sedikit lebih baik. Tak lama kamipun kembali ke kapal karena arus mulai kencang. Tak sampai 2 menit kami sudah menjejaki bibir pantai pulau Liukang. Tujuan kami disini adalah untuk makan siang. Dua rekan kami, Jombil dan Budi, (para pemuda yang tidak terlalu muda) juga bisa turut melaksanakan solat Jumat di pulau ini. Begitu sampai di pulau kami langsung sigap memilih bangunan yang penampakannya berupa restoran. Menu kali ini dipilih ikan bakar,  ikan goreng, dan telur dadar. Beberapa dari kami memilih menu tambahan yaitu indomie. Ehem…dan gw termasuk di dalamnya. Gpp kan yah? Mumpung liburan gw makan indomie. Jarang lho, gw makan indomie. Xixixi lama-lama gw digamparin nih. Dari awal si Jombil sudah curiga kalau pesanan kami bakalan dihargain mahal. Kenapa? Soalnya mereka gak mau kasi tau harganya dulu. Ngakunya “belum tau” mau dihargain berapa. Walhasil, setelah meminta bon, harga ikan, telur dadar dan nasi dihargai Rp420,000. Itu belum termasuk pesanan tambahan tadi.

Sisa hari kami habiskan dengan leyeh-leyeh dan tentunya poto-poto (dengan gaya gak penting) di bawah terik matahari. Sebagian ada yang memilih tidur-tiduran di bawah pohon. Ada juga yang selalu sibuk nelpon. Gw yakin manusia ini gak ijin cuti, makanya dia dicariin terus ama bos nya.

Kalau dilihat dari kualitas pasir pantai, Liukang ini cukup bagus loh. Pasirnya putih, airnya jernih, dan di depan mata kita bisa melihat pantai Bira yang letaknya hanya 10-15 menit naik kapal. Rasanya berenang pun sanggup. *cuih gaya gw*. Oh btw, standar kecepatan kapal disini cukup cepat dibanding dengan standar kapal di pulau seribu. Entah mesinnya yang bertenaga, entah karena penumpangnya dibagi hingga hanya 5 orang per kapalnya.

Niat awal yang ingin melanjutkan snorkeling di pulau Liukang pun pupus sudah. Bukan karena situasi yang tidak memungkinkan, tapi karena cuaca terlalu terik dan perut kami pun rasanya sudah kepenuhan (baca: malas). Akhirnya kami kembali ke penginapan. Selesai berbilas, semua sepakat untuk keliling ke lokasi pembuatan kapal Phinisi dan akan diakhiri melihat sunset di pantai Bara. Konon pantai Bara ini favoritnya para bule. Tidak ada deretan warung di sepanjang pantai, seperti di pantai Bira. Elf yang mengantar kami ke Bira akhirnya disewa lagi untuk berkeliling. Saat masih di Jakarta, sempat terpikir untuk sewa jasa ojek untuk keliling Tanjung Bira. Tapi setelah melihat keadaan aslinya, rasanya mendapatkan 5-10 ojek atau pun penyewaan motor dalam waktu singkat akan cenderung sulit.

Lokasi pembuatan kapal phinisi gak jauh-jauh dari situ juga, kok. Kalau memang suka jalan, jalan kaki kesana gak akan jauh-jauh amat. Kita tinggal keluar dari gerbang kompleks, melewati pelabuhan (konon ferry ke Selayar berangkat dari pelabuhan ini) lalu susuri pantai disitu. Dari kejauhan kami sudah dapat melihat keberadaan kapal-kapal cantik tersebut. Perjalanan kesana pun tak kalah cantiknya, kita akan disuguhi pasir landai yang luas dan bersih. Emang dasar orang-orang narsis, gak ada yang tahan untuk gak ambil photo (atau minta di foto) di sepanjang pantai ini. Udara sore yang sudah sejuk, ditambah badan seger habis mandi membuat hasrat moto-memoto semakin tinggi (ngaruh gak sih?).

Setelah berjalan menyusuri pantai sejauh 1 – 1,5 km, kami pun sampai ke lokasi pembuatan phinisi. Kapal-kapalnya cakep loh. Kata semacam project supervisornya, kalo kita datang lebih sore lagi, kita akan diijinkan naik untuk melihat-liat jeroan kapal yang sedang dibuat. Dengan syarat berani naik tangga khusus tukang yang tinggi itu. Tau kan tangga yang tinggi vertical tanpa ada pegangan itu tuh? =)) kalo gw sih jelas ogah. Tinggi bener cuy. Ha ha ha.

Dari kejauhan sudah nampak lokasi pembuatan kapal Phinisi

Situasi sekitar kapal Phinisi



Ada beberapa kapal yang sedang mereka garap. Tapi ada 2 yang nampaknya hampir mendekati wujud seharusnya. Butuh waktu 6 bulan untuk menjadikan kapal itu berwujud seperti sekarang. Kapal itu terlihat cukup besar dan megah. Masih banyak pekerja yang bekerja sore itu, dari gelagatnya, semua dilakukan secara manual. Bahkan butuh waktu 2 bulan untuk memindahkan 1 kapal dari tengah pantai ke bibir pantai. Padahal jaraknya hanyalah kurang lebih 20m. Para pekerja terdengar kompak menghitung aba-aba: yaaaaaak, satu hah dua hah tiga hah! “Hah” diteriakan ketika mereka sama-sama menarik tali tambang untuk menggeser kapal. Widiiih, mereka pasti pelanggan setia extra joss.

Karena rasa penasaran, akhirnya gw sempatkan untuk bertanya ke supervisor tersebut. Menurut dia, 1 kapal phinisi yang hampir jadi itu dijual seharga Rp 6M. Sedangkan ukuran yang jauh lebih kecil dihargai Rp600juta sajah. “yang pesan kapal, bule ostrali, nanti dia datang sendiri untuk ambil kapalnya”, kira-kira begitu kata si supervisor.  Pemilik pembuatan kapal tersebut adalah orang lokal yang bernama H. Muslim Baso, lokasi rumahnya sendiri tidak jauh dari situ.

Setelah selesai kami pun kembali ke Elf untuk mengejar sunset di pantai Bara. Tapi emang dasar belum rejeki, si supir Elf malah nyasar, walhasil begitu kami sampai di pantai Bara, matahari pun sudah tenggelam. Dengan sedikit kecewa dan menunduk (bukan nunduk karena malu kami anak babi, loh) kami pun pergi dari situ. Sebenernya pantai Bara ini bisa dicapai dari pantai Bira. Dengan catatan laut sedang surut. Karena letaknya persis bersebalahan dengan pantai Bira, namun dihalangin oleh batu karang besar yang menjorok ke laut. Jalanan menuju Bara berupa batu kerikil dan lebih banyak hutan-hutan semi alami. Pulang dari Bara, kami langsung mampir ke kedai bambu. Rasanya memang kedai ini yang paling ramai deh. Ini adalah kedai yang sama yang kemarin penuh oleh bule. Porsi masakannya sangat besar. Jika kita pesan nasi goreng ayam, yang muncul adalah nasi goreng dengan sepotong dada/paha ayam utuh dengan ukuran jumbo. Xixixixi.

Oh iya, sepanjang hari ini ada 4 pembelot yang memutuskan akan berpisah sementara dengan 6 orang lainnya. 4 orang tersebut adalah Tuik, Kobo, Phina dan gw sendiri. Dooooh, kenapa gw harus ama dia lagi dia lagi. Cih! (lemparin Tuik, Kobo, Phina pake sandal swalownya Phina, xixixi). Perpisahan sementara itu disebabkan kita berempat tidak mau mengikuti itin si Jombil untuk dua hari kedepan. Daripada ikut Jombil yang akan melihat kupu2 Bantimurung setibanya di Makasar, kami lebih memilih ke Toraja! Alhasil sepanjang hari si Tuik sibuk brosing-brosing, Phina sebagai notulen, gw sebagai ketua keamanan, dan Kobo sebagai… (apa yah?).

2 November 2013: Tanjung Bira – Makasar – Toraja

Makan pagi dihabiskan tim Toraja untuk ngobrol dan mengkonfirmasi trip dadakan ke Toraja. Dengan bantuan supir Elf, (Pak Ilham 0813 410 33 994), akhirnya kami berhasil mendapatkan jaminan nomer kursi untuk bis malam PP dengan bis Metro Permai. Cukup lega karena akhirnya kami benar-benar akan berangkat ke Toraja. Yipiiiiie yayooooy. 60% lega karena akhirnya confirmed bisa berangkat, 40% lega karena kami tidak harus dicela-cela oleh si Jombil. Coba bayangin kalo kami gagal berangkat, pasti dinyinyirin dan disukur-sukurin. Wakakakak. Jadi rupanya, PO Metro Permai ini sering bekerja sama dengan Mariki Tour and Travel tempat kami menyewa Elf. Pilihan bis malam lainnya: Bintang Prima dan Litha.

Pagi ini jam 10 kami pun meninggalkan Tanjung Bira. Perjalanan selama 6 jam kami habiskan untuk tidur, ngobrol dan tidur. Sempat juga mampir ke restoran Aroma Laut di daerah Bantaeng. Nampaknya restoran ini cukup banyak didatangi oleh para pejabat, atau setidaknya orang-orang yang berlagak pejabat. Kali ini kami memesan, udang, ayam, ikan, cumi, dkk. Gw pribadi cukup puas dengan rasa masakannya. Dan harganya sangat reasonable, Rp400,000 untuk semua pesanan. Kami lanjutkan perjalanan dengan perut yang bahagia.

Sekitar pukul 5.30 sore kami tiba di Makasar. Langsung menuju lokasi penginapan di Jalan Jampea. Rupanya tidak terlalu jauh dari Losari dan Fort Rotterdam. Tim Toraja pun segera mensabotase kamar-kamar Tim Bantimurung. Kamar mereka kami pakai duluan untuk mandi, karena tim Toraja harus mengejar bis malam yang berangkat jam 9. Hahahha kami berempat memang semena-mena.

PO Bis Metro Permai terletak di Jalan Perintis. Naik taksi dari Jampea kesitu sekitar Rp50,000. Tadaaaa, ada ayam pecel yang enak di dekat PO bis. Tuik dan gw akhirnya memutuskan untuk membungkus nasi ayam pecel sebagai bekal sarapan kami besok di Toraja. Konon makanan halal amat sangat sulit ditemukan disana. Jadi gw dan Tuik sudah siap-siap untuk nyetok pop mie…..hmmm perlu gw sebutkan gak kalo gw jarang makan pop mie? :D

Jam 9 tepat bus kami pun berangkat. Gw sih surprise banget dengan kondisi bis malam ini. Dengan Rp150,000 kami mendapat bis terbaik (grade high class). Bis besar dengan formasi bangku 2-2. Bangku yang besar, lengkap dengan sandaran kaki, selimut hello kitty, bantal, head rest/head holder yang sangat ergonomis, reclining seat yang bisa dimundurin sepuasnya. Jarak antar kursi depan dan belakang pun sangat luas. Biar lebih jelas, dengan ukuran tinggi badan gw yang minimalis, kaki gw gak bisa menyentuh kursi depan gw lho. Wkwkkwkwkw.

Selama perjalanan, gw cuman bangun beberapa kali untuk melihat kondisi jalan. Sewaktu gw bangun di sekitar jam 2 pagi, jalanan sungguh amat sempit. Bis harus menepi tiap kali ada kendaraan lewat dari arah sebaliknya. Dan rasanya itu berlangsung cukup lama. Si Kobo bahkan menyadari bahwa bis malam ini jalan sambil konvoi dengan bis lainnya. Oh iya, bis ini akan berhenti beberapa kali, maka jika ada penumpang yang butuh ke kamar kecil atau sekedar meluruskan badan, manfaatkan waktu tersebut ya!.

3 November 2013: Toraja - Makasar

Selamat pagi,  Rantepao!!

Sampai juga kami di Rantepao setelah 9 jam perjalanan dengan bis malam. Ini sebagai tambahan bahwa kemarin di hari yang sama kami sudah duduk di Elf selama 6 jam. Ha Ha Ha. Mayan deeeh. Turun dari bis kami langsung disambut oleh gerombolan tukang ojek yang menawarkan jasanya. 

Mereka bertanya kemana tujuan kami, yang dengan polos gw jawab: “saya mau ke Toraja, Pak!” 
Para ojek membalas: “mbak sudah di Toraja nih!”
Gw: “oiya juga ya”.
-Wkwkwkkw-

Kami dijemput oleh supir Avanza (Etus, 0823 455 86 446) yang sudah kami pesan saat kami masih di Tanjung Bira. Mobil ini dibawah kepemilikan perusahaan Metro Permai. Hingga saat ini mereka hanya punya 1 mobil saja. Entah karena kami sudah pesan tiket PP bis malam mereka, maka harga yang kami dapatkan untuk menyewa Avanza pun cukup murah. Rp350,000 dari jam 6 pagi hingga jam 9 malam nanti. Perjanjiannya adalah kami akan dijemput jam 6 pagi untuk dicarikan wisma murah. Wisma ini untuk mandi dan bersih-bersih saja. Dijemput lagi sekitar jam 8.30 untuk langsung berkeliling Tana Toraja. Lalu diantar kembali ke wisma pada jam 6 sore untuk mandi. Jam 7 malam dijemput lagi untuk ngopi-ngopi dan langsung ke perwakilan PO bis Metro Prima.

Tana Toraja terdiri dari Tator Utara (Rantepao) dan Tator Selatan (Makale), dengan total 26 kecamatan. Udara cenderung sejuk pada pagi dan malam hari. Siang hari bisa berubah menjadi panas banget sih. Jadi siap-siap aja pakai topi atau payung bagi yang gak tahan panas, karena hampir seharian kalian bakal berada di udara terbuka.

Perjalanan diawali dengan mengunjungi Bori. Di Bori kita dapat melihat menhir (batu panjang yang berdiri tegak), yang konon penginggalan jaman megalitikum. Masuk lebih jauh ke atas, terdapat makam keluarga yang terkumpul dalam 1 batu ukuran raksasa. Nah, ada beberapa batu raksasa disana, Di sisi luar batu raksasa tersebut kita bisa melihat ceruk hasil pahatan untuk menaruh tanduk kerbau untuk orang yang dikuburkan di dalam batunya. Katanya kita bisa/boleh masuk ke dalam batu karena ukuran dalamnya yang cukup lega. Batu untuk makam ini ternyata bisa dipesan, lho! Ada yang minat? :p Biaya masuk ke Bori sebesar Rp10,000. Luas lokasinya sendiri memang tidak terlalu besar, di seberang jalan kita bisa melihat hamparan padi-padi yang menghijau. Pemandangannya tampak lebih indah saat kami akan keluar dibanding saat masuk. Jadi, jangan lupa ambil foto-foto menhir dari angle ini yah.

Makam Batu di Bori

Menhir di Bori

Makam Batu. Pohon besar di sebelah kiri digunakan sebagai makam bayi yang belum tumbuh gigi


Selanjutnya kami menuju Batu Tumonga, yang berupa view point dimana kita dapat melihat keseluruhan kota Rantepao dari atas gunung. Wow, kedengarannya menarik banget yah?! Tapi hal yang tidak kami sangka-sangka, ternyata kami harus melewati kurang lebih 2 jam perjalanan naik gunung. Sebab Batu Tumonga terletak di deratan gunung di seberang sana, bukan di gunung yang tempat mobil kami berjalan sekarang.  Kondisi jalanan yang rusak membuat kendaraan tidak dapat melaju terlalu lancar. Menurut supir Avanza kami, sebenarnya ada jalan yang lebih dekat menuju Batu Tumonga, tapi sedang diperbaiki sehingga kendaraan tidak dapat lewat. Padahal hanya perlu 30 menit saja kalau lewat situ. Setelah melewati 1,5 jam perjalanan, Kobo dan Phina sudah mulai tidak sabar dan pegal-pegal (kalian dah jompo ya?). Mereka minta kita untuk berhenti saja dan berbalik pulang, padahal menurut supir jaraknya sudah dekat sih. Tapi ya entah seberapa dekat, tidak pasti juga. Kami berhenti di sebuah makam batu yang batunya teramat besar. Batu berisi makam itu teronggok begitu saja di tepi jalan. Wow, luar biasa. Kami pun turun untuk mengabadikan batu tersebut. Nampak ada tangga bambu bersender di batu itu. Bukan tangga bambu tukang yang biasa kita lihat sih…melainkan satu batang bambu yang berukuran gemuk, di pahat hingga terdapat jejeran ceruk dari bawah hingga atas untuk pijakan kaki. Puas berfoto-foto kami pun balik arah menuju ke bawah. Sedikit kecewa memang, tapi waktu kami di Toraja ini sangat terbatas. Jadi daripada membuang-buang waktu untuk sesuatu yang kurang “khas Toraja”, kami pun berlapang dada untuk turun balik (sambil mikir beneran lapang dada gak yak? hehehe). Tapi suwer deh, kan di Jawa juga banyak dan udah sering juga melihat scenary yang serupa (tetap menghibur diri).

Pemandangan OTW ke Batu Tumonga

Last stop kami saat gagal ke Batu Tumonga



Selepas turun dari gunung, perut yang kosong harus sedikit dijinakkan. Kami request ke si supir untuk mencarikan restoran halal. Halal dalam arti ada tulisan halalnya. Akhirnya kami temukan di jalan Ahmad Dahlan. Pemiliknya berasal dari Solo yang sudah lama tinggal di Toraja. Disini terdapat mie pangsit, nasi campur, nasi dan mie goreng, dll. Lumayan lah dengan harganya juga amat standar. Letak restoran ini persis di seberang perwakilan PO Metro Permai. Oh iya, ada sedikit kabar gak enak nih, bis PO Metro Permai jurusan Toraja – Makasar yang kami pesan kemarin ternyata mengalami double booking. Ada orang lain yang udah duluan memesan kursi, namun karena mereka kurang teliti, kursi itu terjual lagi ke kami. Ini hal yang paling gw hindari, tapi ternyata kejadian juga. Namun mereka memberikan solusi dengan mentransfer kami ke bis PO Litha. Tidak masalah deh, harga yang kami dapatkan pun sama dengan biaya perginya, yaitu Rp150,000.

Okeeh, lanjuuuut…. Berikutnya kami menuju Ketekesu. Namanya mungkin asing, tapi kalau kalian sudah liat pasti langsung familiar. Karena spot ini teramat sangat sering menjadi incaran para photographer. Itu lho, deretan rumah adat Toraja (Tongkonan) dengan semacan plaza di tengah-tengahnya. Pada jalan masuk kami disuguhi danau dan padi-padi an. OK gw lebay, suguhan pemandangannya gak secakep itu sih. Danaunya lebih mirip empang yang sangat besar. Hihihi. Tapi sekilas, ada angle yang mengingatkan gw akan lembah harau di bukit tinggi. Tapi ya cuman secuil dari lembah harau tentunya. Untuk biaya restribusi kami membeli tiket seharga Rp7000. Terdapat beberapa toko souvenir disana. Yang rupanya telah diam-diam kami incar, tapi awalnya jaim dulu dong. Ha ha ha. Ngomong-ngomong, kalian sudah tau kan bentuk rumah adat Toraja? Kalau belum, google aja ya! Dijamin lebih akurat daripada deskripsi gw :p

Ketekesu dengan jejeran Tongkonan (rumah adat Toraja)


Di tiang depan tongkonan ini terdapat deretan tanduk kerbau yang telah dikorbankan pada pesta pemakaman. Normalnya tanduk itu dijejerkan vertikal. Dalam 1 tiang itu, hanya boleh diisi tanduk untuk satu keluarga. Jadi, semakin banyak jumlah tanduknya, dijamin tingkat sosial keluarga mereka semakin tinggi. Menarik yah?

Yup, gak banyak yang bisa di eksplore di Ketekesu. Puas dari situ kami langsung menuju Londa.  Disinilah letak goa alami yang tempat penyimpanan peti-peti mayat. Yang bisa berkumpul disini pun tidak sembarang mayat, hanya keluarga dengan kasta tertinggi yang bisa dimakamkan disini. Menuju pintu masuk, kami ditawarkan menyewa lampu minyak untuk membantu penerangan di goa. Lampu dihargai Rp30,000, kalau mau bawa sendiri boleh, kalau mau dengan jasa guide juga boleh. Guide tidak mematok harga lagi, kita bisa kasi seiklasnya. Begitu memasuki gerbang, kami melihat dataran tinggi dengan dinding bebatuan. Disanalah goa-goa nya berada. Ya, terdapat 2 goa di Londa. Di dinding bebatuan itu terdapat begitu banyak peti mati yang di selip-selipkan di celah celah bebatuan. Ada juga yang digantung dengan tali, ada yang diletakkan begitu saja di bawah. Lalu di bagian atas ada semacam jendela dimana terdapat deretan boneka yang seolah olah menonton para pengunjung di bawah. Jendela itu mengingatkan gw akan ruang VVIP di acara-acara olah raga atau pun teather yang sering ada di pelem pelem ntu tuh. Yang agak aneh menurut gw, terdapat papan karangan bunga ukuran besar tanda bela sungkawa bersender di sisi dinding batu tersebut. Hehehe, suasana mistis nya jadi berkurang deh. Nah, saatnya memasuki goa. Goa yang pertama ternyata hanya sedalam 25m dari lubang masuknya. Kobo sempat ragu-ragu untuk masuk, bahkan menolak untuk masuk. Ha ha ha, dasar Kobo cupu ah :p Tapi setelah berhasil diyakinkan, Kobo dan Phina akhirnya masuk. Harap perhatikan bahwa ada larangan untuk menyentuh barang-barang yang terdapat di dalam goa! Pemandangan di dalam kurang lebih sama dengan di luar, terdapat peti mati yang masih lengkap dengan kain penutupnya. Terdapat juga semacam “sajen” di dekat dekat situ. Tengkorak manusia pun tampak bertebaran disana sini, ada yang bertumpuk di celah goa, ada yang ngumpet sendirian. Pokoknya seru! Kami cukup puas mengambil beberapa photo saja, tanpa ada yang mau berfoto bersama tengkorak. Ha ha ha. Keluar dari situ, kami pindah ke goa yang kedua. Kedalaman goa yang kedua bahkan cuman 7m. Isinya pun kurang lebih sama dengan goa yang pertama.




Bagian luar goa di Londa





Di Londa juga terdapat beberapa toko souvenir. Kebetulan alarm mobil sewaan kami mengalami gangguan, hal ini membuat si supir sibuk mencari bantuan ke supir lainnya. Menggunakan jeda waktu itu, kami pun melihat-lihat toko tersebut.  Dari sini kami memutuskan untuk kembali ke penginapan untuk mandi dan bersiap-siap pulang. Rencana kami untuk mampir ke Lemo akhirnya dibatalkan karena hari sudah terlalu sore, pun mobil kami nampaknya mengalami sedikit gangguan. Tapi sebelumnya kami mampir dulu ke pasar baru untuk membeli kopi Toraja. Disini biji kopi digiling pada saat pembelian. Jika kalian mau membeli dalam jumlah banyak, pastikan sisa waktu kalian cukup yah, karena butuh waktu yang agak lumayan nih untuk menunggu prosesnya.

Antara Ketekesu, Londa, Bori sebenarnya tidak terlalu jauh. Tiap lokasi paling-paling hanya berjarak 7km. Dan selama dalam perjalanan hari ini, entah berapa kali kami melihat kerbau belang yang harganya selangit itu. Menurut gw, kerbau belang itu lebih mirip kerbau albino. Memang kalau dari segi ukuran, bisa dibilang ukuran Bangkok punya. Besar cuy! Ngeliat kakinya aja mantep banget tuh besarnya. Pernah ada cerita, dimana kerbau menabrak mobil Avanza. Pengendara Avanza marah kepada pemilik kerbau. Bukannya minta maaf, si pemilik kerbau malah balik marah…dia bilang: “kerbau saya lebih mahal dari mobil kamu. Lebih baik mobilnya yang rusak dibanding kerbau saya”. Weeew, segitu berharganya yah kerbau hingga harganya bisa mencapai 300 jutaan rupiah.

Kerbau belang


Sesuai tradisi animisme Aluk Todolo, sebelum pesta pemakaman, jumlah kerbau yang akan dikorbankan pun harus dihitung dulu. Jika dulu moyangnya mampu mengorbankan sejumlah kerbau, maka kali ini jumlah kerbaunya harus lebih banyak, atau minimal sama. Tapi memang sih, dalam satu pesta, gak semua kerbau harus berupa kerbau belang. Karena dalam sekali pesta, jumlah kerbaunya bahkan ada yang mencapai ratusan. Pengaturan kerbau dari yang mahal hingga murah ini mereka sebut dengan Sapurandanan. Itung sendiri ya berapa kira-kira biaya yang dikeluarkan anak cucunya untuk merayakan pemakaman ortu atau buyut nya. Ngeriiiii bayarnya ya…tapi namanya adat, justru inilah yang memperkaya keberagaman bangsa. Ya gak ya gak?

Nah, balik lagi ke wisma, kami pun mandi dan bersiap-siap untuk diantar ke perwakilan PO Litha. Wisma kami ini lebih mirip kos-kosan. Harga perharinya yang Rp100,000,- itu setelah kami berhasil meyakinkan pemilik, bahwa kami tidak menginap dan hanya numpang mandi. Lumayan murah banget deh harganya. Hehehe.

Jam 9 tepat bis malam kami pun berangkat menuju Makasar. Bis akan sampai pada pukul 6 pagi. Tapi kami sedikit kecewa dengan kondisi bis PO Litha. Bukannya apa-apa sih, tapi dengan membayar harga yang sama, ternyata grade bis masih dibawah armada PO Metro Permai yang kami tumpangi kemarin (grade kali ini hanya Super Eksekutif). Dalam arti, PO Litha ini sepertinya sudah lebih dulu punya nama dibanding PO Metro Permai, jadi standar harga dia pun lebih mahal. Ruang kaki tidak seluas bis kemarin. Otomatis sandaran punggung pun tidak bisa di turunkan maksimal. Selimut tersedia, namun tanpa bantal. Tapi tak apa, yang penting kami bisa sampai tepat waktu di Makasar.

4 November 2013: Makasar

Tiba 1 jam lebih cepat dari perkiraan, jam 5 pagi kami pun sampai di Makasar. Dari situ kami naik taksi menuju Jl. Jampea tempat kami akan kembali berkumpul dengan 6 orang teman kami. Kali ini biaya taxi lebih murah, hanya sekitar Rp40,000,-

Setelah sarapan berbagai macam jenis, jam 8 liwat sedikit kamipun berjalan kaki menuju pelabuhan antar pulau. Letaknya persis di depan Fort Rotterdam, tidak sulit mencarinya. Kapal kami dapatkan dengan harga Rp750,000 untuk mendatangi 2 pulau, yaitu pulau Samalona dan pulau Kodengareng. Kalau kamu mau sewa ke pulau Samalona saja, kalian bisa dapatkan dengan harga Rp500,000. Kapal kali ini berupa kapal kayu dan ukurannya cukup untuk menampung kami semua. Butuh kurang lebih 30 menit untuk mencapai Kodengareng. Sedangkan ke Samalona hanya butuh 15menit.

Sesampainya disana, kami mendapati bahwa arus cukup deras dan kondisi under water yang tidak menarik. Ternyata pulau ini hanya semacam gusung. Saking kecil kecilnya sehingga kita dapat melihat seluruh permukaan pulau dari kejauhan. Akhirnya kami meminta ABK untuk kembali menjalankan perahu untuk mencari spot under water yang lebih menarik. Tidak sampai 20 meter berjalan..terlihat kondisi bawah laut yang teramat sangat menarik. Awalnya ada yang sempat ragu untuk turun, karena berkeliaran semacam ubur-ubur tanpa sengat yang berukuran sangat amat kecil. Tapi begitu 1 orang menceburkan diri, semua ikut turun =))

Intip deh sebagian foto-foto underwaternya...







Berebut berfoto dengan nemoooo





Kayak bulu ayam yah, kalo dideketin dia mengerucup (kata Onad)

Gak sia-sia bro, kondisi bawah lautnya ciamiiiik!!!! Suweer!!! Kedalaman berkisar antara 1-1,5m saja loh, jadi kami harus berhati-hati agar jangan sampai menginjak karang. Waw, nemo dimana-mana, soft coral bertebaran. Dan anemonnya menari-nari terkena ombak!! Lovely J Gw amat sangat menikmati mengapung diatasnya. Rasanya sulit dipercaya, pulau ini terletak gak jauh dari Makasar, deket pelabuhan kontener pulak. Dimana pelabuhan ini juga sederetan dengan pantai Losari, yang bisa diibaratkan seperti pantai Ancolnya Jakarta. Tapi di pulau ini bisa terdapat alam bawah laut yang diluar perkiraan. Sinting. Spot ini sebenarnya tidak terlalu luas, palingan juga hanya 50x50m lah. Menurut si Jombil, kondisinya under waternya mirip dengan Karimun Jawa. Hanya saja Karjaw jauuuu lebih luas. Setelah puas melihat spot ini, kami pun naik ke kapal untuk mencari spot yang lain. Namun tidak ketemu lagi. Hehehe. Kami pun langsung menuju pulau Samalona.

Di Samalona, kami berencana untuk makan siang dan juga mencari spot snorkeling. Konon di pulau ini terdapat ribuan ikan nemo. Atau setidaknya itu lah yang Oni dan Boling katakan. Sesampainya disana kami langsung diserbu oleh penjaja bale-bale, toilet, ikan bakar, dkk. Agak kurang nyaman sih jadinya.

Harga bale-bale, 3 ekor ikan ukuran kecil dan sedang, semacam tiram, nasi, sambal, sayur dihargai Rp450,000 SAJA loh =)) makan siangnya bener-bener dirampok!!! Selepas makan, sekitar jam 2 kami ingin mengeksplor bawah pulau Samalona, namun ternyata arus deras sekali. Akhirnya kami putuskan untuk berenang-renang santai saja di pantai yang landai, pasir putih, dan air yang jernih. Hmmm, tau gak, kita bisa melihat pinggiran kota Makasar dari sini. Cantik betul. Tapi sayang, banyak ternoda oleh sampah-sampah yang mengapung disini.

Pulau Samalona, hanya 15 dari pelabuhan antar pulau


Dari situ kami pun lantas kembali ke penginapan. Selesai berbilas, gw, Tuik, Phina, Kobo, Dita dan Budi memutuskan untuk mengexplore area sekitar Losari, Fort Rotterdam dan sekitarnya. Ternyata banyak toko oleh-oleh, lho. Sayang sekali kita agak kebingungan gimana caranya mengangkut itu ke Jakarta.


Malamnya kami sibuk packing dan memberi kejutan ulang-tahun-yang-udah-lewat buat Jombil dan Phina. Selesai itu kami pun berkumpul untuk pengumuman biaya sharing cost, yang sudah kami setorkan dari sejak beberapa bulan sebelumnya. Jam 2 pagi kami bangun dan bersiap-siap ke bandara untuk penerbangan jam 4.30 waktu setempat. 

Jakarta, kami pulang.