Rabu, 22 April 2015

Putri Jamban Kena Getahnya


Bagi siapa saja yang cukup aktif memantau social media, pasti familiar dengan foto-foto nyeleneh mengenai jamban. Dimulai dari pintu bilik yang hanya menutupi separuh bagian atas tubuh pengguna toilet duduk, atau terdapat banyak jamban di dalam satu bilik, bahkan ada juga yang jambannya rusak karena si pengguna toilet duduk tidak mengerti bagaimana seharusnya menggunakan toilet duduk (duh, kampungan ya?!), dan lain-lain dan lain-lain.

Pertanyaanya: dalam kehidupan nyata pernah gak sih menemukan hal-hal jamban abnormal semacam itu? Hmmmmm…sialnya, saya pernah! Sial banget, deh!

Siang itu saya berada di suatu pulau yang letaknya teramat jauh dari rumah. Pulau Antamani namanya, salah satu pulau yang saya singgahi saat mengambil paket tour lokal di kota Puno, Peru. Tepatnya di suatu restoran yang menyajikan makanan dengan rasa seadanya, namun memanjakan pelanggan dengan pemandangan yang bisa dibilang….yaaaah, lumayan lah. Ada hamparan bukit-bukit hijau yang seakan menyatu dengan danau dengan volume paling besar se-Amerika Selatan ini. Jadi, pulau ini memang terdapat di danau, bukan di laut.

Di restoran bersama teman-teman trip


Kembali lagi ke restoran. Selepas memesan menu paling normal, yaitu ikan panggang dengan nasi, saya memutuskan untuk check-in di toilet yang tersedia di restoran. “Biar bisa menikmati makan siang dengan lebih khusyuk”, pikir saya. Terdapat dua toilet unisex yang kebetulan kosong di salah satu unitnya. Dengan suka cita saya langsung masuk ke dalam bilik yang tidak besar itu, tanpa memperhatikan keberadaan sebuah tong besar yang penuh dengan air bersih, tepat di depan toilet. Disinilah pengalaman lucu-lucu berbahaya itu terjadi.

Menu makanan di restoran. Ini udah menu yang paling normal bagi ukuran orang Indonesia dibanding menu lainnya.


Sebagai seorang perempuan yang selalu membawa hand sanitizer di tas tangannya, wajar dong kalau saya sangat memperhatikan kebersihan WC umum. Terlebih jika WC yang tersedia berupa WC duduk. Otomatis saya merasa penting untuk memberi alas pada dudukan toilet dengan tissue atau sejenisnya. Rasanya gak rela kan kalau kulit saya harus bersentuhan langsung dengan dudukan toilet yang hanya-Tuhan-yang-tau apa yang pernah terjadi disitu. Namun kenyataan tidak berpihak pada saya, gulungan tissue yang dibutuhkan tidak tersedia di dalam bilik. Ya sudah mau bagaimana lagi, mau gak mau saya harus jongkok di toilet duduk tersebut. Setelah mengambil ancang-ancang seraya berpegangan pada dinding, saya pun menjejakkan kaki sebelah kanan saya di satu sisi toilet sambil mengangkat kaki kiri saya. Namun betapa terkejutnya saya……ada gempa bumiiiiiii…...ya Tuhan, jantung serasa jatuh ke lubang WC akibat guncangan itu. Eh, tapi tunggu, ternyata ini bukan gempa bumi! Toiletnya copot dari lantai dan doyong 45 derajat, bersandar ke dinding. Guncangan air di dalam lubang toilet terlihat seperti ombak lautan yang bertemu bibir pantai. Beberapa potongan kecil (dan besar) dari keramik toilet pun dengan menyedihkannya terkulai di lantai.

Ampun deh, hal konyol seperti ini kok bisa bisanya terjadi sama saya sih? Ya amplop, sial banget siang ini. Tapi kalau-kalau ada yang tanya, untungnya saya tidak terkena cipratan air. Air apapun itu. Hahahaha. Tidak tunggu lama, dengan cueknya – seolah-olah tidak ada yang terjadi – saya keluar dari bilik kesialan dan masuk ke bilik yang-diharapkan-sebagai-bilik-keberuntungan. Kebetulan ada seorang tamu restoran yang baru keluar di bilik tersebut, tersenyum penuh arti kepada saya. Kelihatannya dia mendengar kegaduhan yang saya sebabkan. Bodo amat, deh. Hahahaha.

Di bilik yang baru ini terbitlah harapan baru, agar saya bisa buang air kecil dengan puas dan bahagia. Dan itu memang terjadi, sebelum saya menyadari bahwa kenyataan pahit yang kedua harus di hadapi. Flush di toiletnya tidak berfungsi, jek. Lho iki piye carane? Dengan malu-malu kucing garong saya mengintip ke luar, ternyata tong besar berisikan air itu memang disediakan untuk menyiram toilet yang telah selesai dipergunakan. Ya ampun, ada-ada saja sih.

Setelah saya ingat-ingat lagi, rumah penduduk yang saya inapi di pulau yang berbeda juga memiliki kondisi yang sama. Toilet duduk yang terlihat modern tidak difungsikan dengan maksimal, alias menggunakan flush alami. Sungguh disayangkan, padahal rasa-rasanya mereka tidak kekurangan air deh. Mungkin toilet duduk itu hanya simbol kemakmuran buat mereka. Yang penting ada saja dulu, tidak perduli berfungsi atau tidak. Ini tidak ada bedanya dengan kebiasaan yang melekat pada sebagian warga perkampungan di Indonesia, dimana kulkas digunakan sebagai lemari baju *kedip-kedip

Setelah kejadian yang menarik ini, apakah saya masih mau jongkok di toilet duduk lagi? Yang jelas, saya sudah menjadi korban. Sayangnya korban kebodohan diri sendiri. Hahahahaha. 


Apakah kalian punya pengalaman jamban yang serupa?

Minggu, 19 April 2015

Di balik Perjalanan Panjang Lintas Benua dan Samudra, Di awali dari Cerita Ini

“Travel alert! Maskapai Cathay Pacific (CX) tujuan New York hanya US$460 return untuk periode Oktober hingga November 2014!”.

Isi pesan di bbm group dari si mas Toton tersebut sontak menyedot perhatian saya, yang pagi itu masih malas-malasan di kasur menjadi terbelalak – meski mata saya tergolong minimalis – selebar-lebarnya. Seketika group chat yang beranggotakan para penggemar jalan-jalan itu menjadi ramai dengan diskusi singkat dan kebut-kebutan. Hari itu adalah Jumat minggu ke-tiga di bulan Januari 2014.

Teman yang memberikan info ternyata sudah lebih dulu membeli tiket ke New York di malam sebelumnya, tidak lama setelah ia mendapatkan info dari group Backpacker Dunia. Kontan saya dan satu orang teman bernama Reancy, tanpa pikir panjang langsung masuk ke dalam website Cathay Pacific untuk melakukan proses booking. Jika bookingan berhasil, perjalanan ini akan menjadi kali pertama saya ke negara adidaya tersebut. Artinya, saya harus siap jika tiket yang saya beli nanti hangus apabila aplikasi visa Amerika saya ditolak. Minimal saya akan kehilangan beberapa ratus dollar deh sebagai potongan biaya administrasi dari pihak maskapai jika kelak visa tidak tembus.

Tidak mau tanggung, Reancy dan saya langsung memilih tanggal keberangkatan di bulan Oktober, dengan rentang waktu kepulangan maksimal yang diizinkan untuk jenis tiket kelas ekomoni promo. Maksudnya, tanggal pergi dan pulang tidak boleh lebih dari satu bulan.  Hohoho satu bulan untuk dihabiskan di Negara Paman Sam. Ya, saya berpikir untuk mengambil unpaid leave selama satu bulan. “Masih ada sembilan bulan lagi untuk persiapan”, pikir saya pagi itu.

Usaha pertama untuk issue tiket mengalami kegagalan teknis. Lalu sambil berusaha untuk tetap tenang (atau pura-pura tenang sambil harap-harap cemas), saya pun langsung mencoba untuk yang kedua kalinya. Kali ini tiket berhasil di issued dan nomer kode booking yang dinanti pun menari-nari di layar handphone. Selama beberapa saat saya hanya bisa termenung memandangi layar smartphone Korea berlayar lebar tersebut . Hati dan pikiran ini dipenuhi dengan rasa tidak percaya dan rasa tidak nyata. Ini murni khayalan, kan?! Soalnya, percaya atau tidak, pada hari Senin di minggu yang sama, saya sempat bilang ke teman: “gue dooong lagi browsing tiket ke New York” (dan Afrika Selatan…dan Negara Scandinavia…dan lain sebagainya) tanpa ada niat atau dorongan yang kuat untuk benar-benar ngetrip dalam waktu dekat. Jadi, hanya murni browsing-browsing sambil ngayal babu di waktu luang. Namun, mana mungkin sih terbit keisengan untuk cari tau harga tiket pesawat jika hati kecil tidak sejalan?

Setelah semua confirmed, dan sudah merasa lebih yakin dibanding sebelumnya, buru-buru saya mengabari seorang teman yang kala itu sedang bermukim di sebuah kota yang hanya berjarak empat jam perjalan darat dari New York. Rupanya ia juga tidak percaya jika saya tidak mengirimkan bukti berupa print screen tiket. Gak heran sih, saya saja masih agak tidak percaya kok dengan keberuntungan ini.

Penuh dengan tanda tanya, apa gerangan yang membuat tiket ke kota dengan perbedaan waktu 12 jam dengan Jakarta bisa semurah itu? Apakah ada kesalahan dari pihak maskapai ataukah ada hacker yang berusaha mengambil keuntungan? Dengan tingkat ke-kepo-an yang sangat tinggi dan dada yang masih berdebar-debar, sekitar 30 menit kemudian saya mencoba kembali masuk ke website. Ya Tuhan, harga tiket sudah kembali pada kisaran normal untuk low season, yaitu sekitar US$1300 untuk return ticket. Rasa lega, lemas yang berlebihan mendadak datang. Seandainya tadi disertai pemikiran dan pertimbangan yang terlalu lama, saya akan kehilangan kesempatan yang mungkin gak akan terulang dalam 1000 tahun ke depan!

Usut punya usut, ternyata harga tiket yang error adalah kesalahan pihak Cathay Pacific yang salah memasukkan harga. Harga pokok yang mungkin seharusnya US$1100 hanya diinput US$110. Maka setelah ditambah dengan pajak, total biaya yang tertera hanya US$460. Akibat kurang satu angka nol, lho…cateeeeet!

Well, kalau dipikir secara logika, saya merasa ini suatu kebetulan yang agak bertubi-tubi sih. Tidak sampai sebulan sebelumnya, saya memanjatkan doa kepada Tuhan di tanah suci agar dibukakan pintu kesempatan untuk lebih banyak melihat dunia.  Ternyata Tuhan menjawabnya dengan cara yang tidak pernah diduga sebelumnya. Dia mengatur, melalui tangan seseorang yang telah salah menginput harga, untuk mengantar saya sampai ke New York. Suatu kota yang secara lebay saya katakan berada dibalik bumi Indonesia. Bayangin deh! Ini rejeki nomplok, takdir anak sholeh :p  Nah, sekarang saatnya bilang: Alhamdulillah. 

Jumat pagi itu menjadi titik awal dalam kisah saya dalam sembilan bulan ke depan. Dimana sedikit demi sedikit terkuak banyak hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Mengenai pengetahuan, keberanian dan keputusan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ehem, secara tidak langsung cuman mau bilang kalo saya anak yang agak pemberani = ))))

Jadi, secara singkat inilah latar belakang yang menjadi pemicu saya dalam memulai perjalanan sejauh ribuan miles untuk melihat dunia luar. Cerita berikutnya segera datang.