Minggu, 08 Desember 2013

Hari ke-6: Kep. Komodo – Labuan Bajo, 16 Des 2012



Pagi hari setelah menyelesaikan sarapan, kami semua langsung menuju pintu masuk Pulau Komodo, yang dikenal dengan nama Loh Liang. Pintu masuk pulau ini tampak lebih cantik dibanding Rinca. Hampir sama seperti di Rinca, petugas meminta kami untuk memilih jalur trekking. Berikut pilihannya: (1) trek ringan selama 1 jam, (2) trek sedang sekitar 1,5jam, (3) trek berat selama 2jam, (4) trek petualang selama 6jam.

Di hari kedua trekking komodo, kami kembali menaiki sebuah bukit. Spot yang amat terkenal bernama Sulphurea Hill. Namun sayang, pemadangan indahnya dinodai oleh sebuah baliho besar yang disponsori oleh TELKOMSEL. Huuuuuu, nyebelin banget, sih! Sebagai informasi aja, di sepanjang pulau Flores, memang hanya Telkomsel yang memiliki sinyal. 



Atas: pintu masuk ke Pulau Komodo
Bawah: Sulphurea Hill

Sejauh ini, trekking di pulau Komodo ternyata tidak terlalu mengerikan. Entah karena perilaku komodo yang sedang anteng, atau karena tidak terlalu banyak komodo yang terlihat atau karena sudah berpengalaman trekking di Rinca kemarin? Sampai-sampai Emil dan gue jalan duluan dan sempat terpisah dengan rombongan. Lho? Sempat lupa nih kalau komodo bisa saja sedang berada di dekat situ... Seorang Ranger yang sedang membawa rombongan kecil menegur, dia meminta agar kami kembali pada rombongan dan tidak mengijinkan untuk kami ikut masuk dalam pengawalannya. Kalau dipikir-pikir, bahaya juga ya kalau lengah seperti ini.

Selesai ber-trekking ria, kami sempat duduk di sebuah restoran yang masih di dalam  area P. Komodo. Restoran (dan juga semua bangunan lainnya) berupa rumah panggung. Oleh karena itu, bersiap-siaplah melihat kumpulan komodo yang sedang asyik bersantai di bawah rumah panggung tersebut. Disini adalah area yang paling mudah jika kamu ingin berfoto dengan sang naga. Jangan lupa minta Ranger untuk menjaga ya!



Dermaga Loh Liang (pintu masuk ke Pulau Komodo)

Suasana saat trekking di pulau komodo


Saat menuju keluar kembali ke kapal, terdapat jejeran warung penjual souvenir. Waah, boleh juga nih. Pilihan dijatukan pada magnet kulkas yang terbuat dari ukiran kayu berbentuk komodo. Hasil tawar menawar, Rp25,000,- untuk 2 buah. Begitu kami hampir mendekati kapal, seekor komodo tampak melintas di pantai. Teman-teman sibuk menjepret dengan kameranya masing-masing. Tetep ya gak bosen-bosen? Melihat hal ini, seorang Ranger menawarkan apakah kami ingin melihat Komodo datang bergerombol? Caranya dengan membeli daging dan mengangin-nganginkan di udara…harapannya agar komodo dari berbagai arah akan datang dan saling berebutan makanan. Tentu ini tidak mudah dan  membutuhkan jumlah Ranger yang cukup banyak. Kami pun menolak tawaran tersebut. 

Sedekar informasi, kalau kalian tidak mau menyewa  kapal, cukup datang ke Pulau Komodo dengan kapal regular dengan biaya yang terjangkau. Hanya beberapa puluh ribu saja, kok. Disini juga tersedia penginapan. Ada yang tertarik?

Lanjut ke karang makasar, yang merupakan spot snorkeling dimana kita bisa berenang bersama Manta. Manta itu mirip (atau memang sama, ya?) dengan ikan Pari. Di dekat sinilah momen dimana Malkus, Susan dan Bram tidak bisa kembali ke kapal karena arus bawah yang terlalu kuat untuk ditambah jarak yang sudah lumayan jauh. Terpaksa sebuah kapal diutus untuk menjemput mereka bertiga. Ckckck, nyusahin ya lo pada :p

Berikutnya adalah Pulau Kanawa. Kami berlayar pada sisi dimana lautan tidak dibatasi oleh deretan pulau. Oleh karena itu, hanya disini saja kami sempat merasakan ombak. Jangan bayangkan ombak besar, ya! Hanya saja, berlayar selama 2 hari di air yang begitu tenang memberikan kesan tersendiri.

Di Pulau Kanawa banyak terdapat penginapan, mulai dari kamar hingga tenda. Tapi bisa bayangin gak panasnya siang hari bolong di tenda? Yaudah, gue gak bakal banyak bacot deh, liat aja nih foto-fotonya……


Dermaga di Pulau Kanawa


Dari atas Pulau Kanawa


Sore yang sendu, kami harus kembali ke Bajo. Besok, kami harus segera kembali ke aktivitas masing-masing. Selamat tinggal, Flores!

Satu hal tentang liburan kali ini: Flores….. Awesome destination, awesome weather, awesome friends = AWESOME VACATION.


NB: Foto-foto diatas adalah koleksi dari rekan-rekan seperjalanan

Hari ke-5: Labuan Bajo – Kepulauan Komodo, 15 Nov 2012



Masih dari TreeTop, pagi ini dimulai dengan merapikan carrier 60L yang tersohor itu. Meskipun sebagian barang yang tidak dibutuhkan sudah dikeluarkan, namun ransel hijau tua yang jauh dari kata anggun tersebut tetap terasa (dan terlihat) padat. Sementara ada teman yang bahkan hanya membawa jinjingan kecil…. lucu juga kalau mengingat muka-muka melongo saat menyadari betapa besarnya ransel gue :D

Begitu siap untuk menuju pelabuhan – meski tanpa mandi – dengan percaya diri gue melangkah keluar dari TreeTop. Dua orang bule ABG yang lagi nongkrong di teras menatap ke arah saya. Duh, nyaris ge-er! Tapi akhirnya gue sadar….mereka silih berganti memandang antara ukuran carrier dan tinggi badan pemiliknya, kemudian saling senyum liat-liatan satu sama lain. Deeem, mereka pasti lagi ngetawain gue, nih!


Tas Carrier Eiger 60L


Group kami berlayar menggunakan 2 kapal, syukurlah cuaca hari ini begitu bersahabat. Kapal seakan berlayar di atas agar-agar….begitu tenang tanpa ombak. Di kanan dan di kiri, berjejer pulau-pulau kemarau yang seolah membentengi pelayaran ini. Pulau pertama yang kami kunjungi adalah Pulau Kelor. Pulau yang bisa ditempuh dalam waktu 30 menit ini tidak berpenghuni. Sepertinya memang tidak populer sebagai area bermain air. Tapi tunggu dulu, lihat foto-foto di bawah ini...

Dari Puncak Pulau Kelor







Puas berpanas-panasan di Pulau Kelor, kami kembali berlayar dan menuju Pulau Rinca. Pelayaran diisi dengan makan siang lalu menjadi model dan fotographer dadakan di geladak kapal. Sandal kuning dan sandal pink menjadi sorotan. 

Di gerbang masuk Rinca yang dinamai Loh Buaya, kita disambut oleh Ranger yang bertugas mengawal perjalanan. DEG DEG DEGan…. akhirnya melihat bisa melihat sang naga secara live! Kalian pasti sudah sering dengar betapa ganasnya binatang peninggalan purbakala ini, kan? Katanya: komodo bisa berlari secepat kilat, bisa berenang, bisa mencium bau darah hingga kiloan meter, bisa memanjat pohon dan dipersenjatai dengan air liur yang penuh bakteri berbahaya. Wah, kurang HOROR apa lagi, coba? Belum lagi berbagai kisah penyerangan komodo, bahkan terhadap ranger sendiri. Di Rinca, dikabarkan bahwa ukuran komodo relatif lebih kecil dibandingkan rekan-rekannya yang berada di pulau komodo. Artinya, besar kemungkinan komodo disini dapat bergerak jauh lebih lincah. Hmmm…

Sebelum memulai trekking, kita diminta untuk memilih jenis trek sesuai kemampuan dan keinginan. Jenis trek terbagi menjadi 3 macam: (1) trek ringan selama 1 jam, (2) trek sedang sekitar 1,5jam, (3) trek berat selama 2jam. Saat itu kami sepakat memilih trek yang ringan saja. Para ranger sudah mewanti-wanti agar kami tidak “sok tau” dan keluar dari rombongan. Pokoknya harus tetap waspada, jika ada komodo melintas biarkan dia lewat terlebih dahulu. Sebisa mungkin jangan menenteng tas, atau membiarkan tali-temali tas beruntai-untai. Kalau tidak, bisa-bisa komodo akan menyangka kita membawa makanan untuk mereka, begitu kata si Ranger. Ranger juga dilengkapi dengan “senjata” berupa tongkat kayu yang bercabang di ujungnya. Sekilas sih, “senjata” ini terlihat lemah. Biaya masuk sebesar Rp2,500,- bagi wisatawan local, dan Rp20,000,- untuk wisman.


Dari atas bukit di Rinca





Kanan: anak komodo di dalam lubang di atas pohon







Sang Ranger menunjukkan lokasi favorit para Komodo. Terdapat seekor komodo yang terlihat malas, gemuk dan seolah tak peduli dengan kami. Tapi jangan terkecoh, meski tidak dalam posisi aba-aba, jika ia merasa terganggu, akselerasi penyerangan bisa terjadi secepat kilat. Kemudian kami beralih ke tempat lain, si Ranger menunjukkan seekor anak komodo yang sedang bertengger di pohon. Wah, mendadak gue menghayal: apa jadinya kalo dia loncat ke atas kepala? Jalan setapak kami susuri lagi…terlihat seekor rusa melintas. Terus melangkah, kami sampai pada diatas suatu bukit yang wow….cantik sekali. Dari atas bukit terlihat ceruk lautan yang nyaris seperti lukisan. Tentu saja, kamera harus disiapkan!

Selesai dari Rinca, kami langsung menuju P. Komodo. Bukan untuk trekking, melainkan snorkeling…mungkin lebih dari 1 jam kami berlayar. P. Komodo terletak di sisi terjauh dari rangkaian Kep. Komodo. Jika dari Labuan Bajo kalian langsung menuju kesini, siapkan waktu sekitar 4 jam, ya. 

Dari kejauhan terlihat beberapa kapal sedang dilabuhkan agak jauh dari tepi pantai. Dan ABK lalu mengumumkan bahwa kami sudah sampai ke sebuah surga taman laut. Pemirsa….selamat datang di PINK BEACH!   


Narsis teruus





Kapal besar memang tidak diperbolehkan untuk menepi ke pantai, dikhawatirkan bisa merusak karang-karang laut yang tersebar di sepanjang pantai. Untuk mendapati pink beach, kita wajib terjun di tengah laut dan berenang ke tepian. Sebagian teman yang sudah turun duluan memperingatkan: “hati-hati, arus bawah lautnya deraaas sekali!” Tapi gak ngaruh, gue harus turun! Jadi, memang disini terkenal dengan arus bawah yang lumayan kencang. Atau bisa jadi di jam-jam tertentu saja ya.. karena saat itu memang sudah jam 4 sore. ABK sempat berpesan: “kalau kalian terbawa arus, NIKMATIN aja!” Belakangan ketahuan kalau Chedy yang berbadan layaknya body builder pun, harus berjuang keras untuk melawan arus saat kembali ke kapal. Ia pun sempat menggigil sedemikian rupa karena terkena air dengan suhu yang cukup rendah.

Pemandangan bawah laut disini memang dasyat, deh! Coral-coral dengan berbagai warna, anemon yang menari-nari, berbagai jenis ikan termasuk Nemo – favorit gue – berenang kian kemari. Tapi sayang, beberapa bagian memang tampak sudah hancur. Terfokus menuju ke pantai, gue melupakan esensi snorkeling itu sendiri, untuk melihat kian kemari. Sungguh amat disesali, rasanya kurang lincah “berburu” spot yang cantik. Dua doa: (1) Mudah-mudahan suatu hari bisa kembali kesini lagi, (2) Mudah-mudahan coralnya tidak tambah rusak! Begitu mendarat di pantai pink – yang tidak terlihat pink – teman-teman pun sibuk bergaya di depan kamera. Jangan khawatir, katanya….katanya lho, komodo tidak bermain-main di wilayah ini. Seperti tadi gue bilang, pink beach terletak di sisi pulau Komodo, namun tidak ada seorang Ranger pun yang akan mengawal kalian disini. 

Saat senja tiba, kami menepi ke Kampung Komodo yang letaknya dekaaat sekali dari pink beach. Kapal pun ditambatkan di dermaga. Sempet terpikirkan oleh teman-teman untuk membajak kapal dan kembali ke pink beach esok hari *balada tidak puas* hehehe. Kampung Komodo (dan juga Pulau Kambing) memang cukup lazim menjadi lokasi peristirahatan kapal wisata, sebab perairannya yang hampir selalu tenang. Di kapal, kami bergantian mandi. Ingat, hemat air ya! Satu orang hanya dapat jatah 1 ember air bersih saja. Tapi rupanya peraturan hemat air tidak berlaku di kapal teman kami (kapal yang lebih besar). Di kapal itu air pancuran mengalir dengan kencang, nyaris dipastikan bahwa mereka menggunakan air laut dan bukan air bersih yang dibawa dari Bajo. Malam hari, Bram, David, Emil dan gue menyempatkan diri menjelajah ke Kampung Komodo yang kondisi penduduknya cukup menyedihkan.

Wajah anak-anak di Kampung Komodo

Suasana Kampung Komodo

Sedikit cerita mengenai kapal yang kami tumpangi, kapal yang berukuran sedang (sedang itu relatif, ya) ini mampu menampung sekitar 7-8 orang. Fasilitasnya berupa: 3 ABK, 1 toilet, dapur, dek atas untuk bermalam, kabin bawah yang bisa menampung 2 orang, dan “ruang keluarga” multi fungsi. ABK sendiri yang menyediakan makan pagi-siang-malam untuk kami. Eits, jangan berburuk sangka dulu ya…masakan mereka endaaaang, lho!

Things we do on da boat



Hari yang dipenuhi momen LUAR BIASA ini ditutup oleh taburan bintang-bintang yang begituuuuu….begituuuuu…..*speechless*

NB: Foto-foto diatas adalah koleksi dari rekan-rekan seperjalanan

Kamis, 05 Desember 2013

Hari ke-4: Bajawa – Ruteng – Labuan Bajo, 14 Nov 2012



Pukul 3 pagi, kami sudah bersiap-siap. Dari beberapa orang yang awalnya bersedia ikut, kini hanya tersisa menjadi 4 orang saja yaitu Arta, Bram, Cheddy dan gue sendiri. Lama menanti di teras penginapan, ojek yang dipesan sejak malam tak kunjung datang. Sebagian mulai gelisah karena takut kesiangan (gak enak kalau ketahuan kabur oleh teman-teman yang lain). Udah kayak kabur dari tahanan aja.

Diterpa sengatan angin subuh di pegunungan yang dingin selama sekitar 15 menit, saya merasa beruntung memakai jaket dan juga lilitan kain bali di leher. Kalau tidak? Beeeeeerrrrrrr, rasanya pasti semeriwing puluhan kuadrat. Jadi begini tho, rasanya naik ojek jam 4 subuh. 

Kontur tanah yang tidak memungkinkan, memaksa kami turun dari ojek dan melanjutkan  dengan berjalan kaki. Seorang tukang ojek yang merangkap sebagai guide turut mengantar kami. Oh iya, dalam perjanjian, tariff ojek PP dipatok sebesar Rp 50,000,-

Pagi-pagi buta harus nanjak itu ternyata rasanya kacau balau bro, apalagi buat pemula kayak gue. Untung saja jalanan yang cenderung rata lebih mendominasi dibanding yang menanjak. Kalau tidak gue pasti sudah teriak: “maaamaaaah, akoooh mao pulaaang sajaaah”. Jarak tempuh trekking yang tidak terlalu jauh, ditambah jalur setapak yang tercetak jelas membuat suasana terkesan tidak liar. Tak lama kami berlima pun sampai ke puncak bukit. Rasa capek terbayar dengan menyaksikan matahari yang terbit dengan indahnya.



Sunrise dari atas bukit Wawomudo





Sementara yang lain sibuk memotret kian kemari, gue duduk selonjoroan menikmati matahari terbit. Padahal ini alasan doang sih, skenario sebenarnya karena kaki gue cukup gempor. Setelah matahari cukup tinggi, baru terlihat jelas bentuk kawah Wawomudo yang terdapat di bawah. Genangan air kawah yang cuma seadanya tampak sedikit menyedihkan. Gak kebayang kalau ada yang ngomel-ngomel protes melihat kenyataan ini (hanya beberapa orang yang tau siapa ini – hahaha).

Selesai dari Kawah Wawomudo, kami kembali ke penginapan untuk sarapan dan bersiap-siap. Beberapa orang teman sempat memesan kopi Bajawa (katanya cukup terkenal ya?) ke tukang ojek tadi pagi, namun begitu di coba di Jakarta, ternyata kopi tersebut tidak seenak yang seharusnya. Jadi saran gue, coba deh cari referensi penjual yang terpercaya kalau memang niat mau membeli kopi asli sana.

Stop berikutnya adalah kampung Bena, yang bagi sebagian orang namanya sudah cukup familiar. Terletak di kaki Gunung Inerie, desa berbentuk linear ini ternyata memiliki akses jalan yang amat mudah, alias berada di pinggir jalan raya. Jadi jangan terlalu berharap untuk melihat desa alami yang bisa membangkitkan jiwa petualangan, yah! Penduduk desa pun sudah cukup dicemari oleh alat tukar yang bernama uang. Bahkan untuk sekedar berfoto bersama saja, mereka meminta “jatah”. Ngomong-ngomong, di kampung ini, jangan lupa untuk mengambil foto dari bagian atas yah! Dari spot ini, seluruh desa yang hanya terdiri dari beberapa rumah, dapat ter-capture dengan jelas. 

Dijual disini

Tenun Kampung Bena

Atas: foto dari atas kampung bena
Bawah: foto dari luar kampung bena

Puas menginspeksi desa Bena, berikutnya menuju Danau Ranamese dan sawah laba-laba di Ruteng. Danau Ranamese yang konon pernah disambangi oleh Nicholas Saputra (penting gak sih?), berada persis pinggir jalan raya, namun ditutupi oleh tembok beton. Menurut supir bis, tembok ini untuk menghalangi pengendara mobil melambatkan kendaraanya dan melihat-lihat. Tidak banyak waktu yang dihabiskan disini. Gerimis yang mulai turun, menandakan bahwa kami harus segera pergi dari situ.





Sawah Laba-laba di Ruteng


Danau Ranamese


Sawah laba-laba memang cantik, pemirsaaah. Unik deh. Disebut begitu karena para petani dengan kreatif, rajin dan sabar membentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai sarang laba-laba. Spot terbaik untuk menikmati keindahannya adalah dari atas bukit. Jangan khawatir, naiknya mudah kok. Sudah dibuat bertangga-tangga, meskipun belum dilapisi batu atau semen. Hamparan padi kehijauan terlihat bagaikan karpet berbulu dengan ukiran sarang laba-laba. Kami cukup beruntung datang di saat yang tepat, bayangkan kalau padi-padi baru saja selesai di panen?! Keindahannya pasti berkurang.


What we do in da bus



Malam ini kami dijadwalkan untuk tidur di bis. Kali ini gue sih udah siap mental untuk tidak mandi. Tapi ternyata, dari sawah laba-laba ke Labuan bajo tidak sejauh yang diperkirakan. Kira-kira jam 9 malam, kami telah siap menyantap makan malam di restoran TreeTop. Restoran ini merupakan tempat yang paling nge-hip seantero Labuan Bajo. Di lantai atas restoran bersama beberapa orang teman, kami menginap. Gratis. Sisanya memilih untuk mencari penginapan terdekat.  Mungkin merasa kurang nyaman tidur dengan suasana bagaikan di barak. Padahal disini seru, lho! Sebagai orang yang (mungkin) tidur paling akhir, gue menyadari bahwa ada teman yang ngorok, ada yang kentut dan berbagai perilaku lainnya =))


Suasana TreeTop

NB: foto-foto di atas adalah koleksi dari rekan-rekan seperjalanan