Pukul 3 pagi, kami sudah bersiap-siap. Dari beberapa
orang yang awalnya bersedia ikut, kini hanya tersisa menjadi 4 orang saja yaitu
Arta, Bram, Cheddy dan gue sendiri. Lama menanti di teras penginapan, ojek yang
dipesan sejak malam tak kunjung datang. Sebagian mulai gelisah karena takut
kesiangan (gak enak kalau ketahuan kabur oleh teman-teman yang lain). Udah
kayak kabur dari tahanan aja.
Diterpa sengatan angin subuh di pegunungan yang dingin selama sekitar
15 menit, saya merasa beruntung memakai jaket dan juga lilitan kain bali di
leher. Kalau tidak? Beeeeeerrrrrrr, rasanya pasti semeriwing puluhan kuadrat. Jadi
begini tho, rasanya naik ojek jam 4 subuh.
Kontur tanah yang tidak memungkinkan, memaksa kami turun dari ojek
dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Seorang tukang ojek yang merangkap sebagai guide turut
mengantar kami. Oh iya, dalam perjanjian, tariff ojek PP dipatok sebesar Rp
50,000,-
Pagi-pagi buta harus nanjak itu ternyata rasanya kacau
balau bro, apalagi buat pemula kayak gue. Untung saja jalanan yang cenderung
rata lebih mendominasi dibanding yang menanjak. Kalau tidak gue pasti sudah
teriak: “maaamaaaah, akoooh mao pulaaang sajaaah”. Jarak tempuh trekking yang
tidak terlalu jauh, ditambah jalur setapak yang tercetak jelas membuat suasana
terkesan tidak liar. Tak lama kami berlima pun sampai ke puncak bukit. Rasa
capek terbayar dengan menyaksikan matahari yang terbit dengan indahnya.
Sunrise dari atas bukit Wawomudo |
Sementara yang lain sibuk memotret kian kemari, gue duduk
selonjoroan menikmati matahari terbit. Padahal ini alasan doang sih, skenario
sebenarnya karena kaki gue cukup gempor. Setelah matahari cukup tinggi, baru terlihat
jelas bentuk kawah Wawomudo yang terdapat di bawah. Genangan air kawah yang
cuma seadanya tampak sedikit menyedihkan. Gak kebayang kalau ada yang
ngomel-ngomel protes melihat kenyataan ini (hanya beberapa orang yang tau siapa
ini – hahaha).
Selesai dari Kawah Wawomudo, kami kembali ke penginapan
untuk sarapan dan bersiap-siap. Beberapa orang teman sempat memesan kopi Bajawa
(katanya cukup terkenal ya?) ke tukang ojek tadi pagi, namun begitu di coba di Jakarta,
ternyata kopi tersebut tidak seenak yang seharusnya. Jadi saran gue, coba deh
cari referensi penjual yang terpercaya kalau memang niat mau membeli kopi asli
sana.
Stop berikutnya adalah kampung Bena, yang bagi sebagian
orang namanya sudah cukup familiar. Terletak di kaki Gunung Inerie, desa
berbentuk linear ini ternyata memiliki akses jalan yang amat mudah, alias berada di pinggir jalan raya. Jadi
jangan terlalu berharap untuk melihat desa alami yang bisa membangkitkan jiwa
petualangan, yah! Penduduk desa pun sudah cukup dicemari oleh alat tukar yang
bernama uang. Bahkan untuk sekedar berfoto bersama saja, mereka meminta “jatah”.
Ngomong-ngomong, di kampung ini, jangan lupa untuk mengambil foto dari bagian
atas yah! Dari spot ini, seluruh desa yang hanya terdiri dari beberapa rumah,
dapat ter-capture dengan jelas.
Dijual disini |
Tenun Kampung Bena |
Atas: foto dari atas kampung bena Bawah: foto dari luar kampung bena |
Puas menginspeksi desa Bena, berikutnya menuju Danau
Ranamese dan sawah laba-laba di Ruteng. Danau Ranamese yang konon pernah
disambangi oleh Nicholas Saputra (penting gak sih?), berada persis pinggir
jalan raya, namun ditutupi oleh tembok beton. Menurut supir bis, tembok ini untuk
menghalangi pengendara mobil melambatkan kendaraanya dan melihat-lihat. Tidak
banyak waktu yang dihabiskan disini. Gerimis yang mulai turun, menandakan bahwa
kami harus segera pergi dari situ.
Sawah Laba-laba di Ruteng |
Danau Ranamese |
Sawah laba-laba memang cantik, pemirsaaah. Unik deh. Disebut
begitu karena para petani dengan kreatif, rajin dan sabar membentuk sedemikian
rupa sehingga menyerupai sarang laba-laba. Spot terbaik untuk menikmati
keindahannya adalah dari atas bukit. Jangan khawatir, naiknya mudah kok. Sudah
dibuat bertangga-tangga, meskipun belum dilapisi batu atau semen. Hamparan padi
kehijauan terlihat bagaikan karpet berbulu dengan ukiran sarang laba-laba. Kami cukup
beruntung datang di saat yang tepat, bayangkan kalau padi-padi baru saja
selesai di panen?! Keindahannya pasti berkurang.
What we do in da bus |
Malam ini kami dijadwalkan untuk tidur di bis. Kali ini
gue sih udah siap mental untuk tidak mandi. Tapi ternyata, dari sawah laba-laba
ke Labuan bajo tidak sejauh yang diperkirakan. Kira-kira jam 9 malam, kami
telah siap menyantap makan malam di restoran TreeTop. Restoran ini merupakan
tempat yang paling nge-hip seantero
Labuan Bajo. Di lantai atas restoran bersama beberapa orang teman, kami menginap. Gratis. Sisanya memilih untuk mencari penginapan terdekat. Mungkin merasa kurang nyaman tidur dengan
suasana bagaikan di barak. Padahal disini seru, lho! Sebagai orang yang (mungkin)
tidur paling akhir, gue menyadari bahwa ada teman yang ngorok, ada yang kentut
dan berbagai perilaku lainnya =))
Suasana TreeTop |
NB: foto-foto di atas adalah koleksi dari rekan-rekan seperjalanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar