Senin, 18 November 2013

Dimana Tangkahan?


Pertama kali nyobain brosing tentang Tangkahan - SUMUT, yang nongol adalah foto hutan lebat dengan gajah-gajah pengarung sungai yang bisa di tunggangi. Kedengerannya kece, ya? Harusnya memang kece, sih! Teracuni oleh foto seperti itu, akhir tahun 2012 lalu gue sekeluarga nyaris pergi kesana. Tapi akhirnya pilihan dijatuhkan ke destinasi lain, Tangkahan harus menunggu.

Nama Tangkahan memang gak sebeken Berastagi dan Danau Toba, bahkan untuk warga Medan sekalipun. Sekalinya ada yang familiar dengan nama itu, dia pun akan bertanya balik: “mau liat apaa sih disana? Hutan biasa doang”. Weew, OK deh kaka…(dalam hati gue: belum tau aja lu, pemandangan disana pasti keren bingiiits!)

Pucuk dicinta ulam pun tiba, hari kejepit Idul Adha 2013 kemarin, gue bisa nyuri waktu untuk terbang ke Medan. Kebetulan dua orang kakak gue berdomisili disana. Mulailah gue dan para kakak bertanya kesana-kemari mengenai akses, situasi di TKP, dll. Bermodal info seadanya, akhirnya tim yang berjumlah 9 orang pun berangkut dengan 1 mobil. Iya, SATU MOBIL untuk semua. Dan keseruan demi keseruan pun dimulai.  Hari Minggu sekitar jam 9 pagi kami sudah duduk manis di mobil. Memang harus manis sih, gak bisa grasak-grusuk…secara gak ada ruang untuk bergerak, booook! Empat orang memang masih berusia kanak-kanak, tapi dimensi tubuh mereka gak kalah besarnya dengan gue. Kebayang gak tuh?

Menurut informasi, dari kota Medan dibutuhkan waktu 3jam untuk mencapai Tangkahan. Setelah hampir 2 jam perjalanan, kami melihat plang  dengan arah panah “Tangkahan 60KM”. Horeeee…jarak semakin dekat, nih. Jalanan masih terbuat dari aspal, namun semakin menyempit. Pemandangan di kanan kiri jalan pun silih berganti. Diawali dengan pepohonan kelapa sawit yang seolah tumbuh di rawa-rawa, kemudian muncul dataran berumput hijau dengan latar belakang perbukitan. Beberapa kali kami berhenti untuk bertanya arah, sebab terdapat beberapa percabangan jalan tanpa pentunjuk yang jelas. Setelah beberapa saat, pedesaan mulai lenyap dan digantikan dengan perkebunan sawit. Aspal pun telah berubah menjadi batu kerikil yang ditebar asal-asalan. Tiga jam perjalanan telah dilalui, namun belum ada tanda-tanda kami akan sampai. Anak-anak pun mulai bertanya-tanya: “sebenernya kita mau liat apaan sih disana?” Gue cuman mesem-mesem aja deh, soalnya gue pun gak punya jawaban yang jelas. Hihihihi. 

Kembali jalanan mulai tampak membingungkan, untungnya kami kembali menemui pedesaan untuk bertanya. Saat ditanya mengenai arah, mereka menjawab: “ikutin aja kabel listriknya”. Yah, setidaknya ada panduan yang jelas nih kali ini. Kira-kira 1 jam kemudian, akhirnya kami berhasil mencapai pintu masuk Tangkahan. YES!

Gak ada yang istimewa dari pintu masuk Tangkahan. Hanya ada bangunan yang berisi jejeran warung yang tutup, toilet, loket (yang gak tau juga untuk apa, karena kami tidak dimintai biaya restribusi saat masuk ke dalam). Melewati lorong di dalam bangunan tersebut, kita diarahkan untuk turun puluhan anak tangga menuju sungai dibawah. Tidak ada yang menarik dari sungai utama yang berwana kecoklatan itu. Yang mencuri perhatian, di seberang sana ada cabang sungai yang cukup lebar dengan warna yang sangat bening. Uniknya, warna air yang bening dan coklat tidak bercampur sama sekali. Terlihat jelas batas antara air keruh dan air yang lebih jernih. Kelihatannya bakal seger kalo cibang-cibung disana, beberapa orang pun tampak sudah beraktivitas di sekitar sungai. Ada yang river tubing, ada yang sekedar berendam saja, bahkan ada yang mencuci baju.

Dari atas sudah keliatan (dan terdengar) kalau sungai yang berwana coklat itu mengalir dengan amat sangat deras. Rasanya mustahil kami bisa nyebrang pakai kaki ataupun berenang. Untungnya ada jasa rakit untuk menyebrang, dimana tiap orang dikenakan biaya sebesar Rp3000,- untuk PP.  Rakit yang dilengkapi dengan atap itu dikaitkan dengan tali untuk mencegah hanyut terbawa arus.

Rakit untuk menyebrang


Sesampainya di sebrang aliran sungai coklat, ada semacam “pantai” kecil dengan bebatuan kerikil datar yang bisa jadi tempat piknik. Mengingat sempitnya lokasi, idealnya hanya bisa beberapa keluarga saja yang muat “ngetem” (baca: gelar tiket untuk makan) disitu. Tepat di titik ini, gue agak mati gaya. Pilihan gue ada dua: (1) Mau bawa para bocah mandi-mandi cantik, tapi pinggiran sungainya kurang asik buat disebrangi. (2) Mau dibawa naik ke tangga naik ke bukit atas, tapi kayaknya di atas gak ada apa-apa. Akhirnya gue putuskan naik tangga duluan, ceritnya mau survey dulu deh sebelum bawa ponakan dan nyokap naik tangga. Soalnya, konon ada tempat yang landai dan enak untuk “turun” ke sungai kalau kita naik dulu ke atas bukit.

Di atas ternyata terdapat perkampungan penduduk, situasinya persis kayak di belakang rumah gue jaman dahulu kala. Setelah berhasil menemukan jalur untuk turun sungai yang dimaksut, gue pikir tidak perlu membawa keluarga kesitu. Sama sekali gak ada yang menarik, cuy! Denger-denger sih ada air terjun di balik pegunungan disana, tapi gak gue kesini bukan untuk ngeliat air terjun. Jadi gue lupakan aja opsinya, toh gak jelas juga letaknya dimana. Jadi gue nyetanin keluarga untuk kesini tuh sebenernya untuk liat apa sih? He he he.

Sesampainya lagi di “pantai”…nyokap, kakak dan uwak gue udah nyiapin bekel makanan. Wuih, untung aja bawa bekel..kalo enggak ya cuman bisa gigit jari dan kelaparan sampai malam tiba. Kelar makan, akhirnya beberapa dari kami pun gak tahan lagi untuk nyebur ke sungai. Ternyata di sungai bening ini arusnya juga lumayan deras. Padahal gak keliatan sama sekali dari permukaannya, lho.

Sebelum menyebrang


Puas merasakan dinginnya sungai, akhirnya semua kembali naik ke permukaan untuk mengintip pemandian gajah. Artinya, kami wajib menyebrang lagi dengan rakit, lalu dengan mobil menuju ke area tersebut. Setelah gak jauh berkendara, mulai kelihatan ada keluarga gajah yang lagi ngemil rerumputan, terdiri dari ayah ibu dan anak (sotoy ajah sih gue). Area ketiganya berada, dibatasi dengan pagar kayu dan kawat nan langsing. Jangan-jangan kawatnya dialiri listrik :p

Pas buanget, kami sampai beberapa saat sebelum gajah akan dimandikan, yaitu jam 3.30 sore. Dalam sehari, gajah akan dimandikan 2x. Memandikan gajah ini memang dikomersilkan, jadi kalau kalian mau memandikan gajah, bayarlah  Rp.25.000,- Saat akan dimandikan, gajah diiring turun ke sungai dibawah. Iya, pemandian ini berada di hulu. Berarti air sungai yang coklat dan deras tempat kita menyebrang dengan rakit tadi….bekas mandinya gajah *pasang muka lempeng*. Untung gue gak nyemplung disitu!

Gue sekeluarga sih gak ada yang tertarik untuk memandikan gajah, cukup nonton ajah. Soalnya bauuuuuk buaanget. Itu udah mandi 2x sehari loh, bayangkan bauknya gajah liar yang jarang mandi!?


Sesampainya di tepi sungai, ada pemandangan yang sedikit menjijikkan disini. Satu dari gajah yang masi kecil dibantu si pawang untuk BAB. Tau gak dibantu dengan cara apa? Gak pake ba-bi-bu, tangan telanjang si pawang masuk ke dubur gajah dan mengambil langsung dari dalamnya. HUHAUHUAHUAHUAHUA. AMIT-AMIIIIIT.

Perhatikan oknum berbaju hijau. Makin lama, tangannya itu "masuk" hingga ke ketiaknya =))


Pukul 4 sore kami sekeluarga pun segera pulang, demi menghindari bermobil sendirian di jalan gelap dan berkerikil di perkebunan sepi  tadi.


Jadi, pesan moral dari cerita gue adalah: datanglah ke TN Tangkahan hanya jika kalian kurang kerjaan dan kebetulan cukup iseng pergi jauh-jauh hanya untuk melihat sungai. =))

Jalanan menuju Tangkahan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar