Pertama kali nyobain brosing
tentang Tangkahan - SUMUT, yang nongol adalah foto hutan lebat dengan
gajah-gajah pengarung sungai yang bisa di tunggangi. Kedengerannya kece, ya?
Harusnya memang kece, sih! Teracuni oleh foto seperti itu, akhir tahun 2012
lalu gue sekeluarga nyaris pergi kesana. Tapi akhirnya pilihan dijatuhkan ke
destinasi lain, Tangkahan harus menunggu.
Nama Tangkahan memang gak
sebeken Berastagi dan Danau Toba, bahkan untuk warga Medan sekalipun. Sekalinya
ada yang familiar dengan nama itu, dia pun akan bertanya balik: “mau liat apaa
sih disana? Hutan biasa doang”. Weew, OK deh kaka…(dalam hati gue: belum tau
aja lu, pemandangan disana pasti keren bingiiits!)
Pucuk dicinta ulam pun tiba,
hari kejepit Idul Adha 2013 kemarin, gue bisa nyuri waktu untuk terbang ke
Medan. Kebetulan dua orang kakak gue berdomisili disana. Mulailah gue dan para
kakak bertanya kesana-kemari mengenai akses, situasi di TKP, dll. Bermodal info
seadanya, akhirnya tim yang berjumlah 9 orang pun berangkut dengan 1 mobil.
Iya, SATU MOBIL untuk semua. Dan keseruan demi keseruan pun dimulai. Hari Minggu sekitar jam 9 pagi kami sudah
duduk manis di mobil. Memang harus manis sih, gak bisa grasak-grusuk…secara gak
ada ruang untuk bergerak, booook! Empat orang memang masih berusia kanak-kanak,
tapi dimensi tubuh mereka gak kalah besarnya dengan gue. Kebayang gak tuh?
Menurut informasi, dari kota
Medan dibutuhkan waktu 3jam untuk mencapai Tangkahan. Setelah hampir 2 jam
perjalanan, kami melihat plang dengan
arah panah “Tangkahan 60KM”. Horeeee…jarak semakin dekat, nih. Jalanan masih
terbuat dari aspal, namun semakin menyempit. Pemandangan di kanan kiri jalan
pun silih berganti. Diawali dengan pepohonan kelapa sawit yang seolah tumbuh di
rawa-rawa, kemudian muncul dataran berumput hijau dengan latar belakang
perbukitan. Beberapa kali kami berhenti untuk bertanya arah, sebab terdapat
beberapa percabangan jalan tanpa pentunjuk yang jelas. Setelah beberapa saat,
pedesaan mulai lenyap dan digantikan dengan perkebunan sawit. Aspal pun telah
berubah menjadi batu kerikil yang ditebar asal-asalan. Tiga jam perjalanan
telah dilalui, namun belum ada tanda-tanda kami akan sampai. Anak-anak pun
mulai bertanya-tanya: “sebenernya kita mau liat apaan sih disana?” Gue cuman
mesem-mesem aja deh, soalnya gue pun gak punya jawaban yang jelas.
Hihihihi.
Kembali jalanan mulai tampak
membingungkan, untungnya kami kembali menemui pedesaan untuk bertanya. Saat
ditanya mengenai arah, mereka menjawab: “ikutin aja kabel listriknya”. Yah, setidaknya
ada panduan yang jelas nih kali ini. Kira-kira 1 jam kemudian, akhirnya kami
berhasil mencapai pintu masuk Tangkahan. YES!
Gak ada yang istimewa dari
pintu masuk Tangkahan. Hanya ada bangunan yang berisi jejeran warung yang tutup,
toilet, loket (yang gak tau juga untuk apa, karena kami tidak dimintai biaya
restribusi saat masuk ke dalam). Melewati lorong di dalam bangunan tersebut,
kita diarahkan untuk turun puluhan anak tangga menuju sungai dibawah. Tidak ada
yang menarik dari sungai utama yang berwana kecoklatan itu. Yang mencuri
perhatian, di seberang sana ada cabang sungai yang cukup lebar dengan warna
yang sangat bening. Uniknya, warna air yang bening dan coklat tidak bercampur
sama sekali. Terlihat jelas batas antara air keruh dan air yang lebih jernih. Kelihatannya
bakal seger kalo cibang-cibung disana, beberapa orang pun tampak sudah
beraktivitas di sekitar sungai. Ada yang river tubing, ada yang sekedar
berendam saja, bahkan ada yang mencuci baju.
Dari atas sudah keliatan
(dan terdengar) kalau sungai yang berwana coklat itu mengalir dengan amat
sangat deras. Rasanya mustahil kami bisa nyebrang pakai kaki ataupun berenang.
Untungnya ada jasa rakit untuk menyebrang, dimana tiap orang dikenakan biaya
sebesar Rp3000,- untuk PP. Rakit yang dilengkapi
dengan atap itu dikaitkan dengan tali untuk mencegah hanyut terbawa arus.
Sesampainya di sebrang aliran
sungai coklat, ada semacam “pantai” kecil dengan bebatuan kerikil datar yang
bisa jadi tempat piknik. Mengingat sempitnya lokasi, idealnya hanya bisa
beberapa keluarga saja yang muat “ngetem” (baca: gelar tiket untuk makan)
disitu. Tepat di titik ini, gue agak mati gaya. Pilihan gue ada dua: (1) Mau
bawa para bocah mandi-mandi cantik, tapi pinggiran sungainya kurang asik buat
disebrangi. (2) Mau dibawa naik ke tangga naik ke bukit atas, tapi kayaknya di
atas gak ada apa-apa. Akhirnya gue putuskan naik tangga duluan, ceritnya mau
survey dulu deh sebelum bawa ponakan dan nyokap naik tangga. Soalnya, konon ada
tempat yang landai dan enak untuk “turun” ke sungai kalau kita naik dulu ke
atas bukit.
Di atas ternyata terdapat
perkampungan penduduk, situasinya persis kayak di belakang rumah gue jaman
dahulu kala. Setelah berhasil menemukan jalur untuk turun sungai yang dimaksut,
gue pikir tidak perlu membawa keluarga kesitu. Sama sekali gak ada yang
menarik, cuy! Denger-denger sih ada air terjun di balik pegunungan disana, tapi
gak gue kesini bukan untuk ngeliat air terjun. Jadi gue lupakan aja opsinya,
toh gak jelas juga letaknya dimana. Jadi gue nyetanin keluarga untuk kesini tuh
sebenernya untuk liat apa sih? He he he.
Sesampainya lagi di
“pantai”…nyokap, kakak dan uwak gue udah nyiapin bekel makanan. Wuih, untung
aja bawa bekel..kalo enggak ya cuman bisa gigit jari dan kelaparan sampai malam
tiba. Kelar makan, akhirnya beberapa dari kami pun gak tahan lagi untuk nyebur
ke sungai. Ternyata di sungai bening ini arusnya juga lumayan deras. Padahal
gak keliatan sama sekali dari permukaannya, lho.
Puas merasakan dinginnya
sungai, akhirnya semua kembali naik ke permukaan untuk mengintip pemandian
gajah. Artinya, kami wajib menyebrang lagi dengan rakit, lalu dengan mobil
menuju ke area tersebut. Setelah gak jauh berkendara, mulai kelihatan ada
keluarga gajah yang lagi ngemil rerumputan, terdiri dari ayah ibu dan anak
(sotoy ajah sih gue). Area ketiganya berada, dibatasi dengan pagar kayu dan
kawat nan langsing. Jangan-jangan kawatnya dialiri listrik :p
Pas buanget, kami sampai beberapa
saat sebelum gajah akan dimandikan, yaitu jam 3.30 sore. Dalam sehari, gajah
akan dimandikan 2x. Memandikan gajah ini memang dikomersilkan, jadi kalau
kalian mau memandikan gajah, bayarlah
Rp.25.000,- Saat akan dimandikan, gajah diiring turun ke sungai dibawah.
Iya, pemandian ini berada di hulu. Berarti air sungai yang coklat dan deras
tempat kita menyebrang dengan rakit tadi….bekas mandinya gajah *pasang muka
lempeng*. Untung gue gak nyemplung disitu!
Gue sekeluarga sih gak ada
yang tertarik untuk memandikan gajah, cukup nonton ajah. Soalnya bauuuuuk
buaanget. Itu udah mandi 2x sehari loh, bayangkan bauknya gajah liar yang
jarang mandi!?
Sesampainya di tepi sungai,
ada pemandangan yang sedikit menjijikkan disini. Satu dari gajah yang masi
kecil dibantu si pawang untuk BAB. Tau gak dibantu dengan cara apa? Gak pake
ba-bi-bu, tangan telanjang si pawang masuk ke dubur gajah dan mengambil
langsung dari dalamnya. HUHAUHUAHUAHUAHUA. AMIT-AMIIIIIT.
Pukul 4 sore kami sekeluarga
pun segera pulang, demi menghindari bermobil sendirian di jalan gelap dan
berkerikil di perkebunan sepi tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar